Kapan Nikah? Mendokusai!

By June 13, 2019


Pertanyaan “Kapan nikah?” adalah pertanyaan yang sangat standar, yang akan dialami oleh mereka yang belum menikah ketika hari raya tiba–dan sebetulnya tidak membutuhkan jawaban. Pertanyaan yang sangat menyebalkan. Buat sebagian orang pertanyaan tersebut bisa sangat membuat frustrasi. Apalagi untuk perempuan yang sudah memasuki UP [usia panik]. Hasilnya banyak dari mereka yang merayakan Lebaran hanya untuk sekedar ritual tahunan yang kurang bermakna. Pertanyaan itu sebetulnya bisa dijawab dengan jawaban enteng semisal: “Aduh duitnya belum ngumpul nih, Pakde.. Emang Pakde mau biayain?”. Beres.

Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti sebelum melangkah lebih jauh ke jenjang yang lebih serius. Apa alasan ingin menikah? Tuntutan/tekanan sosial? Agar hidup menjadi “komplit”? Agar mempunyai keturunan? Emak udah minta mantu? Menghindari zinah? Untuk memenuhi kebutuhan biologis? Agar terlihat bahagia punya suami/istri–sama seperti yang lainnya yang sepantaran? Atau karena agama menyarankan kita agar menikah? Sudah yakin dengan pasangannya? Benarkah dia adalah jodohmu? Cinta sejatimu? Belahan jiwamu? Yakin dia tidak akan selingkuh? Yakin kamu cocok dengan keluarganya atau sebaliknya?

Ada fakta menarik di Negeri Sakura sana, angka rata-rata kelahiran per tahunnya termasuk yang terendah di dunia. Trennya menurun setiap tahun. Di tahun 2060 nanti apabila hal ini dibiarkan terjadi maka diperkirakan penduduk Jepang akan berkurang sepertiga dari sekarang. Kalangan muda-mudi Jepang sekarang ini sedang mengalami sekkusu shinai shokogun, atau celibacy syndrome. Menurut survey, sepertiga dari pria lajang usia di bawah 30 tahun belum pernah berkencan. 45% dari perempuan usia 16-24 tahun bahkan sama sekali tidak tertarik untuk berhubungan seksual atau bahkan ada yang membencinya. Banyak yang berpendapat bahwa hubungan emosional itu riweuh, ribet. Lalu muncul istilah Mendokusai [maaf saya belum menemukan padanan yang tepat menurut bahasa Indonesia]. Dalam bahasa Inggris kurang lebih artinya Whatever, Can’t be bothered atau Forget about it. Itu yang saya dapat dari Google. Jawaban itu muncul jika ada yang bertanya kepada mereka kenapa belum menikah, atau bahkan belum mau berpacaran.

Para wanita karir di Jepang banyak yang menganggap pernikahan adalah hambatan. Ketika mereka menjalani sebuah rumah tangga dan mempunyai keturunan, maka karir mereka kemungkinan besar akan habis. Sementara dari pihak pria ada yang berpendapat bahwa hidup bersama pasangannya atau pernikahan itu akan menjadi beban untuk kedua belah pihak. Banyak dari mereka pun menganggap bahwa hubungan seksual adalah hal yang tak penting. Berlebihan. Mainstream. Media Jepang melabeli pria seperti itu sebagai soshoku danshi [secara harfiah berarti “manusia pemakan rumput”]. Mereka pun tidak keberatan untuk dilabeli demikian. Karena mereka yakin bahwa pilihannya itu cepat atau lambat, akan menjadi tatanan baru di Jepang.


Jadi kalau begitu, kapan nikah? Mendokusai!

Menatap nanar masa depan

You Might Also Like

0 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.