Tanjung Puting, Surga Bagi Semesta [Part1]

By September 01, 2017


Tanjung Puting National Park [TPNP], mungkin terdengar sangat asing bagi kebanyakan orang Indonesia. Pada awalnya, saya juga belum tahu apa itu Tanjung Puting, di mana letaknya, asal usulnya, dan ada apa aja di sana. Secara harfiah, Tanjung berarti tanah ujung atau tanah yang berada di ujung, baik itu laut maupun danau. Sementara itu… Put...

Ah, heran juga sih kenapa bisa dinamakan Tanjung Puting. 

Taman Nasional Tanjung Puting [TNTP] ini terletak di Pulau Borneo, tepatnya di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Untuk mencapai ke sana, kita harus naik pesawat kemudian turun di Bandara Iskandar, Pangkalan Bun.

Trip ini merupakan rangkaian trip yang saya buat untuk tahun 2017 ini. Setelah sebelumnya pada bulan April saya melakukan touring menggunakan sepeda motor ke Pantai Ujung Genteng, Sukabumi. Kemudian pada akhir bulannya, saya berkunjung ke Pulau Pahawang dan Kiluan. Dan dengan diakhirinya trip pada bulan Agustus ini, maka lengkap lah sudah rangkaian perjalanan saya; pantai, hutan. Tinggal ke luar angkasa aja nih yang belum.

Awal mula kenapa saya bisa melakukan perjalan ke Tanjung Puting ini adalah karena adanya ajakan untuk jalan-jalan ke daerah Kalimantan dari salah seorang teman kerja yang kebetulan memang orang Kalimantan. Setelah sedikit bertanya-tanya kepada Mbak Ajeng [teman saya -red], mengenai itinerary, cost, dan sebagainya, saya sempat berniat ingin mengundurkan diri dan memilih pergi ke Malaysia atau Singapura saja yang notabene biayanya lebih murah. Yah, meskipun cuma foto-foto aja sih di sana. Tapi kan keren gitu bisa foto di depan Universal Studio atau Patung Merlion. 😜

Tapi rasanya sayang betul kalau jalan-jalan cuma untuk foto-foto saja. Lebih dari itu semua, yang paling penting adalah pelajaran apa yang bisa dipetik dari perjalanan yang kita buat. Seberapa banyak hal yang dapat dipahami dari sebuah perjalanan. Dan nilai apa yang terkandung di dalamnya.

Untuk budget tiket pesawat saat itu, saya habis sekitar 1,3 juta rupiah untuk pulang-pergi. Kemudian 1,4 juta lagi untuk biaya hidup selama di sana yang sudah termasuk biaya untuk guide, transportasi dari bandara ke Dermaga Kumai PP, sewa kapal, dan makan 3 kali sehari disertai 2 kali ngemil sehari. Lah kok gak ada biaya penginapan? Nah, ternyata tidurnya juga di kapal. Di atas sungai. Di tengah hutan. Ajib kan?

Perjalanan dimulai, Bandara Soetta menjadi titik temu kita. Total terdapat 6 orang yang turut serta meramaikan perjalanan ini. Saya sendiri berharap kepada Tuhan yang maha kuasa agar diberi teman jalan yang menyenangkan karena Mbak Ajeng ternyata mengajak teman-temannya yang lain yang saya belum kenal. Saya berharap semoga kita dapat langsung berbaur satu sama lain tanpa ada rasa canggung. Karena sehari bersama orang yang tidak kita suka aja udah lama, apalagi 3 hari. Udah gitu tidur bareng pula. Rasanya tuh kayak nikah sama orang yang gak kita sayang. Udah tau gak sayang, kenapa nikah? Ini kenapa gue sotoy abis ya…

Perjalan menuju Bandara Iskandar, Pangkalan Bun, Kalteng, ditempuh dalam waktu sekitar 75 menit dengan menggunakan maskapai Kalstar. Sesampainya di sana, lumayan kaget juga, bandaranya kecil banget kayak terminal bis gitu. 


Kemudian kita disambut oleh Guide yang telah lama malang melintang di dunia per-guide-an tanah air selama kurang lebih 20 tahun. Beliau bernama Pak Andreas, biasa dipanggil Pak Aan. 20 tahun di Kalimantan, logatnya masih jawa banget. Kenalan sebentar, kita langsung dibawa menggunakan taksi menuju ke Dermaga Kumai. Ohya taksinya gak ada argonya, jadi borongan gitu. Kotanya kecil, mall ada satu dan kayaknya juga baru jadi. Ketika dalam perjalanan, ada antrean kendaraan yang lumayan panjang. Lah ini kota kecil kenapa ada macet juga?

Karena penasaran, akhirnya saya bertanya ke si supir taksi,

“Pak, ini rame-rame mobil ada apa ya? Macet apa gimana?”

“Ini lagi pada ngantre isi bensin, Mas. Udah biasa begini kok. Ngantre sampe berjam-jam.”

“Wow. Emang pom bensin cuma ada satu ya?”

“Ada 5, Mas. Tapi ya begini semua. Pada ngantre.”

“Astaga dragon.”

Lalu dengan berapi-api, si supir taksi tersebut mencurahkan isi hatinya yang selama ini ia pendam,

“Sebenernya kita mah siap-siap aja, Mas. Misalnya harga bensin dinaikkan jadi 20 ribu/liter juga gak masalah asal gak ada antre lagi kayak gini. Kita kalau beli eceran juga kadang ada yang sampai kasih harga segitu kok. Cuma kasihan yang di pulau jawa kan kalau harganya segitu. Betul kah?”

Hmmm...


... ...

Kira-kira ini jalur perjalanan kita
Tiba di Dermaga Kumai, kita langsung disambut dengan awak kapal yang ramah-ramah; Bu itoy as the cook, Bang Kadir as the captain, and Bang Pa’i as the crew. World class service indeed since most of the visitors are abroad. Jadi mereka ini justru lebih biasa melayani tamu dari luar negeri ketimbang dalam negeri. Pak Aan bilang kalau pengunjung Tanjung Puting kebanyakan datang dari luar, sekitar 90% malah. Ternyata benar, pada hari itu hanya kapal kita aja yang isinya orang lokal. Mungkin para bule itu pun menyangka kita datang dari Myanmar atau Thailand, makanya selama di sana saya sama Bang Budi ngomong pakai bahasa Thailand selagi di depan para bule yang pada ngomong pakai bahasanya masing-masing. Iya, just for fun aja.

Di sini yang saya suka dari pak Aan dan timnya adalah, tidak membedakan tamu. Entah itu turis lokal ataupun turis manca, semuanya diperlakukan sama. Maksimal.

Dari Dermaga Kumai, kami menuju muara sungai sekonyer yang merupakan gerbang ke Taman Nasional Tanjung Puting. Perjalanan dari dermaga Kumai ke muara sungai sekonyer ditempuh sekitar 30 menit kalau gak salah. Soalnya waktu itu gak sempat lihat jam juga sih. Udah kadung kehipnotis sama suasana di atas kapal. Ohya kapal ini biasa disebut ‘Klothok’ karena mesinnya yang berbunyi ‘Klothok… klothok… klothok…’ ketika berjalan. Kreatif abis. Untung aja seorang kapiten tidak dinamakan ‘Prok’ karena kalau berjalan kan ‘prok… prok... prok...’

Wait, guys? Mau ke mana, guys? Ini ceritanya belum selesai...


Guys...


Guys...


...




Di sepanjang sungai sekonyer kita dapat melihat monyet-monyet yang bergelantungan dari satu pohon ke pohon lainnya. Kebanyakan sih jenis Bekantan. Ketika lagi otewe ini, kita sempat memergoki seekor orangutan liar yang tengah mencari makan di pinggir sungai seorang diri. Begitu didekati, ia pergi menjauh. Begitu kita menjauh, ia mendekat. Iya, sepertinya sih cewek betina.
<a rel="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/"><img alt="Creative Commons License" style="border-width:0" src="https://i.creativecommons.org/l/by-nc/4.0/88x31.png" /></a><br /><span xmlns:dct="http://purl.org/dc/terms/" href="http://purl.org/dc/dcmitype/StillImage" property="dct:title" rel="dct:type">Bekantan di Taman Nasional Tanjung Puting</span> by <a xmlns:cc="http://creativecommons.org/ns#" href="http://sayyidskiy.blogspot.com/" property="cc:attributionName" rel="cc:attributionURL">Sayyidskiy</a> is licensed under a <a rel="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License</a>.<br />Based on a work at <a xmlns:dct="http://purl.org/dc/terms/" href="http://sayyidskiy.blogspot.com/2017/09/tanjung-puting-syurga-bagi-semesta-part1.html" rel="dct:source">http://sayyidskiy.blogspot.com/2017/09/tanjung-puting-syurga-bagi-semesta-part1.html</a>.
Pemberhentian pertama adalah Tanjung Harapan. Nah di sini ada pusat informasi tentang orangutan gitu, tapi menurut saya sih kondisinya agak kurang terurus. Gelap, udah gitu agak kotor. Mungkin orang-orang berfikir kalau sekedar informasi orangutan aja sih di internet juga banyak, makanya di sana sepi. Kebanyakan pengunjung langsung menuju ke tempat feeding orangutan. Selama perjalanan ke panggung pertunjukan, Pak Aan bercerita mengenai banyak hal tentang orangutan berikut cerita-cerita yang pernah terjadi selama ia berada di Tanjung Puting; mulai dari orangutan yang gay, orangutan yang cemburu, orangutan yang pernah hampir memperkosa perempuan, proses bagaimana seekor orangutan jantan bisa menjadi raja, hingga orangutan yang dipekerjakan di tempat prostitusi segala. Cerita yang kayak begini nih yang gak bakal didapat di internet.





Beruntung, saat kami mendatangi panggung pemberian makan ini, ada orangutan yang datang naik ke atas panggung dan memakan makanan yang diberikan oleh Ranger. Ranger di sini maksudnya petugas yang ngasih makan lho ya. Bukan Ranger yang Power Ranger itu.
Cuma kita turis yang datang dari Thailand




Mbak Ajeng [Yang depan]



Waktu menginjak sore hari waktu indonesia bagian barat, atau tengah, entahlah, kita sempat meributkan hal kecil yang seharusnya tidak terjadi itu. Sore hari katanya adalah waktu yang tepat untuk melihat kawanan bekantan dari pinggir sungai karena mereka ingin pergi tidur. Karena kalau siang hari mereka mencari makan ke dalam hutan.


Kawanan Bekantan. Gak keliatan ya? Ya udah...
Setelah puas melihat Bekantan jumpalitan di atas puun, maghrib harinya klothok kami menuju ke spot tempat di mana kunang-kunang banyak bernaung. Sebenarnya makan malam di tengah kunang-kunang dan hanya dengan cahaya lilin ini sungguh romantis, sayang saat itu kita masih kenyang, makan malam jadi ditunda. Saking banyaknya kunang-kunang yang ada di pohon, pohonnya terlihat seperti pohon natal. Kerlap-kerlip begitu indah bertautan dengan bintang.

Di malam pertama ini. Dihiasi cahaya bintang. Di dalam rimba yang tenang. Angin pun membelai sayang. Dibuai kedamaian sempurna. Di tepi sungai suara. Ku rangkai puji bagi sang pencipta.
Candle light dinner
[Bersambung...]

You Might Also Like

0 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.