Tanjung Puting, Surga Bagi Semesta [Part 2]

By September 01, 2017

Hari kedua...


Pagi itu sungguh indah. Bangun tidur disambut dengan sautan suara burung di balik rimbun pepohonan. Dan beberapa bekantan yang bermain di dahan. Lalu ada seorang ibu yang mendayung sampan, untuk mengantar anaknya ke sekolahan.


Penasaran juga sih seperti apa sekolah yang ada di dalam hutan itu. Pak Aan bilang di dalam sana cuma ada sekolah tingkat SD sampai SMP aja. Gurunya? Iya ada juga.

Agenda utama kita di hari kedua yaitu… Feeding orangutan lagi.

First spot was Pondok Tanggui. Dengan track yang sedikit lebih jauh dari Tanjung Harapan, membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk mencapainya. Di sana, pemberian makan dimulai pada pukul 9 pagi. Untung aja kita bisa bangun lebih awal. Ohya, jam 5 pagi di sana sama kayak sekitar jam 6.15 pagi di Jakarta, udah terang. Lumayan kaget juga. FYI aja sih.

Mbak Ira
This is a carnivorous plant called Kantong Semar or Pitcher Plant. Bugs and insects that are trapped inside will slowly be dissolved.

Sayang seribu sayang, perjalanan jauh yang kita tempuh tidak berbuah hasil. Orangutannya tidak muncul, sodara-sodara. Jauh-jauh dari Jakarta cuma ngeliatin pisang. 

Iya, lebih kasihan yang dari Skotlandia sih. Jauh banget itu.

2 jam berlalu tanpa ada seorangutan pun yang datang. Pada awalnya kita bersikukuh untuk tidak meninggalkan area feeding itu sampai orangutan datang. Namun akhirnya dengan pencerahan dari guide kita bahwa ada sesuatu yang lebih baik di luar sana, kita meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan ke Camp Leakey.

Mungkin yang perlu diperhatikan di sini bagi pengelola wisata di Taman Nasional Tanjung Puting adalah, varian atraksi yang ditawarkan. Namanya juga rehabilitasi. Semakin sedikit orangutan yang datang ketika pemberian makanan, justru semakin berhasil programnya. Katanya kalau dulu yang datang bisa sampai belasan orangutan. Sekarang gak lebih dari 5. Lah, kalau gak ada yang datang lagi?

Okay, seeing orangutan being fed in their habitat was great. But, three times? Guess it would be a lot better to make something new. What about feeding crocodiles since we've seen so many of them while we're on the boat? Fishing? Hunting zebras?
Ceritanya lagi pada mau liat orangutan
Eh ternyata cuma ngeliatin pisang
Meski begitu kita tetap senang
Setelah kegagalan di Pondok Tanggui, kami melanjutkan perjalanan ke Camp Leakey, yaitu tempat di mana penelitian orangutan dimulai tempo dulu oleh Prof. Galdikas sekitar medio 70-an. Bayangin aja, discovering Kalimantan yang mungkin pada waktu itu jalanan belum beraspal, belum ada listrik, telepon, teve, dan hotel-hotel seperti yang saya lihat selagi di sana. Dengan beraninya ia membelah hutan tropis di mana bernaung harimau, babi, beruang, buaya, ular berbisa, dan nyamuk-nyamuk pembawa malaria untuk mempelajari orangutan. Indonesia should be thankful to her. Kalau gak ada Beliau, mungkin orangutan tinggalah nama saat ini. 

... ...

Tak seperti sungai sekonyer sebelumnya yang berwarna kecoklatan akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di hulu sungai, sungai sekonyer yang menuju ke Camp Leakey ini berwarna hitam. Dikelilingi pohon-pohon yang tinggi menjulang serta sesekali pohon bakung. Warna hitam ini adalah warna asli sungai sekonyer. Guide kita bilang, sebelum ada aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan secara gila-gilaan [dengan cara dibakar] untuk perkebunan kelapa sawit, sungai sekonyer yang coklat sebelumnya juga dulunya hitam. Ini yang hitam sungainya lho ya, bukan warna airnya. Kalau warna airnya sendiri bening. Tau Ariel Tatum kan? Nah iya beningnya kayak gitu deh.

Sungai Sekonyer
Bisa buat ngaca brooohhh


Dermaga
Sesampainya di dermaga, teman saya Ira melihat bule Polandia perempuan ganti baju di atas klothok. Lalu…

Halah, salah fokus.

Selesai kapal ditambatkan, kita makan siang lebih dulu dengan menu yang hampir sama seperti restoran di mall-mall Jakarta. Ajib banget masakannya. Bu itoy ini masakannya kelas dewa, jurusnya banyak banget. Mantep lah pokoknya. Gak tau belajar di mana.

  



Untuk mencapai ke dalam, kita melewati papan kayu sejauh 400 meter terlebih dahulu. Ketika sedang dalam perjalanan inilah tiba-tiba turun hujan. Ternyata hujan ini membuat salah satu orangutan yang kita temui di pintu masuk Camp Leakey, yang bernama Siswi, menjadi resah. Layaknya manusia, nalurinya mengatakan, kalau hujan ya neduh. Gak ada payung, pakai daun pun jadi! Sumpah ini lucu abis. Dan ternyata, Siswi ini adalah salah satu aktris yang bermain di film Born to be Wild lho. 


Setelah direhabilitasi, orangutan-orangutan ini sebenarnya dilepas ke alam bebas di area TNTP. Namun beberapa di antaranya masih suka ada yang kongkow-kongkow di Camp Leakey gitu. Mungkin menurut mereka tempatnya cozy abis. Apalagi kalau Prof. Galdikas datang, katanya mereka langsung bergerumul layaknya anak yang melihat ibunya.

Entering the area, a stop at the visitors center inside Camp Leakey is a must to see the rich history of the area and to understand the challenge faced in trying to save the rain-forest and its creatures in our country. The guestbook had been written and signed by people from all over the world with different purposes in their visit; vacation, study, and also...

honeymoon. 


Tuhhh dengeerrr. Eh bacaaa.
:(
:(
FYI, sekarang raja orangutan di sana bernama Tom. Penasaran seperti apa rupa Tom ini, kita menuju ke dalam hutan untuk melihat… Yak Betul! Feeding Orangutan lagi.

To get to the feeding station, we walked through the jungle. Along the way we encountered interesting vegetation. We need to be careful because some of the plants may cause a bad rash. The biggest danger in this jungle is neither the animals nor the native dayaks, it's the risk of falling tree branches hitting us. Well, Leech is a threat too, though. 

Setibanya di tempat pemberian makan, sempat ada situasi menegangkan ketika Tom mendapati di atas panggung ada orangutan jantan lainnya, Ponorogo. Sebagai raja, ia merasa tak terima makanannya diembat duluan. Layaknya film action, seketika itu pula Tom berlari mengejar Ponorogo, lalu menghilang di balik semak. Kita semua menunggu dengan cemas dan khawatir bagaimana hasil dari pertarungan itu. Selang beberapa lama, Tom muncul kembali dan langsung naik ke panggung untuk menyantap hidangan yang tersedia. Tampaknya Ponorogo berhasil melarikan diri. Hidup di hutan memang keras.

Ini siapa namanya ya. Lupa.
Ini babi
Ini Ponorogo

Ponorogo zoom in 25x
Ini Tom ketika akan mengejar Ponorogo 
Long Live The King!

Hari ketiga. Pada akhirnya, semua hal baik harus berakhir. Surga, bukan hak milik manusia semata, melainkan semesta. Hutan, bagi manusia mungkin hanya lahan yang bisa diolah menjadi apa saja, namun bagi beberapa makhluk hidup lain, surga yang hakiki ada di sana. Di rindangnya pepohonan. Di sungai yang mengalir perlahan. Tanyakan saja pada orangutan, atau kunang-kunang yang beterbangan.

Hal yang penting dari perjalanan ini adalah bagaimana menghargai kehidupan, semua makhluk Tuhan, serta lingkungan. Memaksa kita untuk sesekali berhenti untuk menghela nafas dari hiruk pikuk dan hingar bingar dunia yang semakin liar tak terkendali. Sesekali melihat ke sisi lain untuk menangkap sesuatu yang pernah berarti. Atau mengenang kebahagiaan sebagai infus kehidupan yang terasa semakin berat seiring bertambahnya hari.

Seperti frase salah satu puisi Chairil Anwar.
sekali berarti, sesudah itu mati.
Tak usah menilai orang lain, tapi hitunglah, sudah seberapa besar kontribusi kita sendiri bagi kehidupan yang cuma sekali ini. Benar, buat hidup ini penuh arti. Bukan sekedar mengulang hari.

Terima kasih, kawan-kawan. Terima kasih, Tanjung Puting. Aku akan kembali lagi!


Dari kiri ke kanan [Atas: Bang Budi, Kadir, Bu Itoy, Mbak Dewi, Pak Aan, Pa'i]
[Bawah: Mbak Ajeng, Ira, Mbak Endah, Hamish Daud]

You Might Also Like

0 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.