Jakarta, ku ingin hilang ingatan.

By October 07, 2010 , , ,

Ketika bangun pagi semuanya terlihat biasa saja.
Keadaan rumah yang biasa saja, tidak ada yang berubah. Kucing gue masih berbulu, burung gue masih berkicau. Gak ada yang berubah.
Sampai suatu hari, ini terjadi…

Hari itu gue sedang dalam perjalanan menuju rumah nenek gue yang berada sangat jauh sekali, daerah jawa bagian timur. Butuh sekitar satu setengah hari perjalanan darat untuk mencapai kesana. Gue sangat menikmati perjalanan gue tersebut. Meskipun melelahkan, namun tetap mengasyikkan tapi tetap melelahkan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar, bahkan saking lancarnya, tidak terasa perjalanan panjang dan melelahkan itu akhirnya berakhir juga. Singkat cerita, gue sudah sampai.
Yap, gue menginjakkan kaki pertama kali ditempat itu setelah 9 tahun lamanya terakhir kali gue kesitu. Kampung halaman bokap gue.

Semuanya terlihat sangat berbeda. Udara yang masih segar, sungai yang mengalir deras, pemandangan gunung yang indah, gadis2 gunung yang indah, semuanya sungguh indah. Permatasari juga indah. Apa lagi kalalo.

Mau mandi dengan sensasi yang sedikit berbeda?

Gak perlu repot2 buka pintu, kunci pintu, ngaca2 dulu. lari saja melintasi pematang sawah sekitar 500 meter, buka baju dan celana, nyebur ke kali. Maksud gue disini adalah kali yang bener2 kali, yang masih bersih, airnya juga jernih, layak dipakai untuk mandi, panoramanya juga indah, udaranya segar, dll. Pokoknya kebalikan dari ciliwung. Kira2 seperti ini gambarannya.

sempet kepikiran buat jadi pengusaha batu kali
Jujur, ini pengalaman pertama gue mandi dengan perasaan ‘gak tau namanya apa’, perasaan yang sangat sulit di definisikan. Karena ini juga pengalaman pertama gue telanjang bulet di alam terbuka. Meskipun masih terhalang batu2 segede mobil, dan tempatnya juga sepi. Tapi tetep aja, telanjang bulet di tengah kali siang2 bikin spot jantung dan gak bakal kepikiran buat nyanyi2. Seperti inilah kira2 tampang gue ketika mandi dengan perasaaan ‘gak tau namanya apa’.


muka becek
Terlebih lagi, orang2 disini sangat ramah. Sangat berbeda dengan orang2 yang tinggal di kota2 besar yang selama ini gue tinggali.

Semua orang sepertinya mengenal gue, namun gue tidak mengenal mereka. Gue sendiri pun bingung kenapa bisa seperti itu. Begitu orang2 disana melihat gue, mereka menyapa gue dengan penuh rasa hormat sembari membungkukan badan.

“eh, ini? ini mas Anas yang dulu kecil itu kan? sekarang Anunya udah gede yaaa?bapaknya mana mas?”

Sontak gue kaget ketika tiba2 ada seorang ibu2 setengah baya yang menyapa. “Mampus, siapa lagi ni yang nyapa gue, gue gak kenal. Tapi, dia kenal!”

“oh he, iya…bude aku anas yang dulu, bapak lagi dirumah.”Gue jawab asal sambil cengengesan. Semua orang pun gue panggil bu’de dan pa’de.

Ini lah salah satu hal yang gue sangat sukai ketika berada di kampung halaman bokap gue. Meskipun gue masih muda dan perjaka, tapi semua orang kampung disini sangat menjunjung tinggi asas harga-menghargai kepada sesama, ramah, menghormati tanpa kita perlu memakai dasi, jas, dan rambut becek. It’s just soooo Indonesia.

Dengan sederhananya mereka akan tersenyum sembari menganggukan kepala dan memanggil gue dengan sebutan ‘mas’. Gak peduli umurnya 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, atau bahkan yang udah seumuran sama nenek gue sekalipun. Mereka semua akan respect dan selalu menyapa gue terlebih dulu.
Jaman ini susah lhoh nemuin anak muda yang menghormati orang tua, apalagi sama yang baru dikenal. Tapi ini orang tua menghormati orang muda macam gue? Gue berasa keren.
Itu semua tidak terlepas dari andil kakek gue. Doi yang udah lama Almarhum, konon katanya adalah sesepuh didesa itu (tolong dibedakan antara sesepuh dengan kuncen), yang dituakan gitu lah. Gue gak tau bisa dibilang tokoh masyarakat atau gak, karena gue gak tau tokoh masyarakat itu apa. Yang gue tau cuma sampah masyarakat. Dan udah bosen gue ngeliatnya.
Di tambah lagi bokap gue, dia adalah anak pertama dari silsilah kakek gue tersebut. Makin tua dong?
Di tambah lagi, gue merupakan cucu tertua kedua setelah kakak gue. Kurang tua apa lagi coba?
Itu lah kenapa orang2 disana sangat respect kepada gue dan terutama keluarga besar gue. Kalo gue mah sebenarnya bukan apa2. Cuma mahasiswa gadungan yang males melakukan semua hal termasuk tidur. Gak dideportasi ke nepal aja udah bagus.
Karena penasaran, gue ziarah ke makam kakek gue tersebut. Dan sempet foto2 juga buat kenang2an. Karena seumur hidup gue belum pernah liat kakek gue barang satu kali pun. Paling enggak batu nissannya udah bisa mewakili. Ini pun pertama kalinya gue ziarah kekuburannya.
*cucu yang gak tau adat.

Namun, seperti filosofi orang2 dulu. Tak kenal maka tak sayang, buruk muka cermin di belah, di balik udang pasti ada batu, air beriak tanda tak dalam, di balik selimutmyu ada akyu.
Begitupun dengan gue, di balik semua hal2 fantastis tadi, sebenarnya gue menjalani itu semua dengan perasaan yang mengganjal. Perasaan yang sebisa mungkin gue tutupi agar semua orang tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Mana ada yang tau kalo sebenarnya gue pulang kampung dengan berjuta masalah. Orang2 diluar sana yang gue jumpai, mana ada yang tau kalo gue lagi sendu. Keluarga besar gue, mana ada yang tau kalo gue ternyata abis putus.
Yang mereka semua tau hanyalah gue yang sangat ramah. Yang mereka tau hanyalah gue yang selalu tersenyum ke semua orang yang kenal gue, sementara gue tidak.
Dan apakah mereka akan peduli? Atau mengerti?
Gue rasa tidak. Mana mungkin juga gue curhat sama nenek gue soal beginian. Mungkin ketika gue bilang “mbah, tau gak?aku abis putus lhoh semalem.”
Dia akan menjawab “huehee…kopinya diminum, abis itu sholat dilanggar aja.”
Memang menyakitkan, ketika kita sedang berada dalam masalah namun orang2 lain disekitar kita akan terus maju dan melangkah.
Mereka mungkin akan berkata “iya, gue ngerti apa yang lagi lo rasain.” Tapi sebenernya mereka tidak benar2 mengerti. Karena mereka tidak berada dalam posisi kita. Sekalipun mereka bilang “gue pernah ada di posisi lo, iya gue ngerti.” Tapi semua hal pastinya tidak akan pernah sama.
Gue menghabiskan seminggu di sana dengan penuh ketopengan. Tampak senang di luar, namun hancur di dalam.

Sekembalinya ke Jakarta, gue berharap bisa ilang ingatan.

You Might Also Like

4 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.