Apa Benar Kamu Merindukan Ramadhan?

By June 23, 2015 ,


Satu hari menjelang puasa, Syamsudin dan beberapa orang di kampung daerah Bojong Kenyot terlihat sibuk bersih-bersih di pelataran masjid. Karpet-karpet dijemur, lampu-lampu diganti baru, halaman disapu, tembok dicat, dan sebagainya. Itu kebiasaan baik yang sudah berlangsung bertahun-tahun di kampungnya. Ibu-ibu juga bergotong-royong, menyediakan pisang goreng, bakwan, serta kopi dan es teh manis. Anak-anak membantu membersihkan mushaf-mushaf Al-Quran yang berdebu lalu menyusunnya kembali di rak-rak. 

Mereka menyambut Ramadhan penuh suka cita. Tapi Dul Gedes, yang dianggap agak mlengse otaknya oleh orang-orang di kampungnya, hanya berdiri di depan pagar tembok masjid. Dia memperhatikan spanduk yang dibentangkan di pagar masjid sambil mondar mandir di depannya. Tulisan “Marhaban, ya Ramadhan. Kami rindu padamu.” yang ada di spanduk, dibacanya berulang-ulang dengan suara agak kencang.

Anak-anak tertawa. Mereka semua menganggap Dul Gedes sedang kumat, dan tak mempedulikannya, kecuali Syamsudin. Hanya dia yang sejauh ini menganggap Dul Gedes sebagai orang istimewa karena menurutnya, terkadang Dul Gedes ini suka berfikir Out of The Box gitu lah. Dia lalu mendatangi Dul Gedes karena menduga dengan kelakuan Dul Gedes itu, pasti ada sesuatu yang telah mengusiknya, dan Syamsudin ingin tahu.

“Lagi belajar mbaca, Dul?”

“Siapa yang pasang spanduk itu, Din?”

“Anak-anak, Dul. Idenya dari saya.”

“Nanti menjelang Lebaran, tulisan spanduknya diganti lagi?”

“Ya diganti lah, Dul. Diganti jadi: ‘Ramadhan Kami Masih Merindukanmu Tapi Kau Cepat Berlalu’.”

“Apa benar kamu merindukan Ramadhan, Din?”

“Ya… Benar, Dul.”

“Kamu senang berpuasa?”

“Senang, Dul.”

“Benar, kamu senang puasa, Din?”

“Maksudnya, Dul? Ya iyalah.”

“Menurutmu, kenapa orang Islam diwajibkan berpuasa?”

“Supaya bertakwa, Dul,” jawab Udin.

“Itu tujuannya, Din. Di Al-baqarah katanya begitu kan.”

"Lho terus, kenapa ada kewajiban puasa, Dul?”

“Lah saya kan yang tanya, Din.”

“Iya, Menurutmu kenapa ada hukum puasa? Kenapa kewajiban puasa diturunkan oleh Allah?”

“Din, sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang manusia tidak suka mengerjakannya. Kalau manusia suka melakukannya untuk apa diwajibkan?”

“Ya… Tapi kan tetap wajib berpuasa, Dul?”

“Tentu saja, Din. Masalahnya: benar, kamu suka puasa?”

“Insya Alllah benar, Dul.”

“Kalau begitu, ayo kita usulkan kepada Allah agar puasa Ramadhan tidak diwajibkan — apalagi hanya sebulan dalam setahun. Kita usulkan saja 3 bulan. Sebab banyak manusia, termasuk kamu, sudah suka.”

“Ya nggak gitu juga kali, Dul.”

“Lho terus gimana? Kamu suka atau tidak suka puasa? Aslinya loh ya, Din?”

“Sebetulnya sih agak nggak suka, Dul.”

“Terus shalat, apa kamu juga suka shalat? Lima kali sehari, suka? Nanti malam ada tarawih, benar kamu suka mengerjakannya juga?”

“Iya sih, agak nggak suka juga tarawih. Apalagi kalau panjang bacaan suratnya.”

“Agak tidak suka atau beneran tidak suka, Din?”

“Agak… Agak tidak… Tidak suka, Dul.”

“Lalu kenapa kamu berpura-pura merindukan Ramadhan?”

“Ya mau gimana lagi, Dul, setiap tahunnya memang sudah begitu. Orang-orang juga begitu.”

“Dan kamu ikut-ikutan, padahal kamu tidak suka puasa, tidak suka shalat tarawih?”

“Siapa juga yang berani, Dul.”

“Itulah masalahmu. Mestinya kamu berterus terang kepada Allah bahwa kamu tidak suka shalat tarawih dan tidak suka puasa, tapi kamu siap dan ikhlas melakukan sesuatu yang kamu tidak suka itu sehingga derajatmu tinggi di hadapan Allah. Kalau kamu suka, ya tidak tinggi derajatmu, Din.”

“Waduh, Dul.”

“Waduh kenapa? Aku tanya ke kamu: orang suka, orang senang, terus melakukan atau menjalani yang disenangi atau disukai, apa hebatnya?”

“Ya nggak ada, Dul. Biasa saja.”

"Nih ya tak kasih contoh lagi. Orang yang suka rujak kalau dikasih rujak apa yang dilakukannya, Din?"

"Ya pasti langsung dimakannya lah, Dul. Orang doyan kok."

"Lha kalau orang yang nggak doyan rujak terus dikasih rujak, gimana?"

"Ya nggak bakal dimakan lah."

"Nah... Kalau orang yang nggak suka rujak itu tetep mau makan rujak demi orang yang dicintainya. Apa nggak bernilai tinggi orang itu? Dia mau melakukannya walau nggak suka."

"Iya ya, Dul."

“Jadi, benar nih kamu suka puasa... dan tarawih?”

“Ya sudah, saya akan berterus terang sama Allah bahwa saya tidak suka tapi saya akan mentaati perintahnya dan akan melakukannya dengan ikhlas.”

“Begitu dong. Jangan pura-pura terus.”

“Sampeyan besok puasa kan, Dul?”

“Apa aku harus bilang dan pamer kalau aku akan berpuasa?”

“Yah, salah lagi… Yowis kalau gitu, saya mau melanjutkan menyapu dulu ya, Dul.”

Syamsudin meninggalkan Dul Gedes yang tetap berdiri di depan pagar masjid. Lalu, sambil benerin sarung, Dul Gedes kembali membaca tulisan di spanduk yang dipasang di pagar masjid. Suaranya kali ini lebih kencang. Persis seperti anak-anak yang gembira karena baru bisa membaca, dan membaca tulisan apa saja yang ditemuinya dengan keras-keras.

“Marhaban, ya Ramadhan. Kami rindu padamu… Marhaban, ya Ramadhan. Kami rindu padamu…”



Orang-orang dan anak-anak lain yang sibuk membersihkan masjid terus saja menertawakan Dul Gedes. Sementara Syamsudin, hanya tersenyum sembari ngunyah pisang goreng.


*Diadaptasi dari cerita yang disampaikan Cak Nun.*




You Might Also Like

4 comments

  1. terus menertawatakan Dul Gedes.... xD

    ReplyDelete
  2. eh bang kampret, labelnya kurang tuh, kurang "Tentang Aku" hhi....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gimana kalo 'Tentang Kamu'? Atau 'Tentang Kita'? hhi....

      Delete
  3. bole dech, asal jangan 'Tentang Mantan' aja. hahakk....

    ReplyDelete

Kindly give me your thoughts. Thank you.