Umroh ke Malang Part I

By February 27, 2012 ,

Alhamdulillah, pertama-tama, marilah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga saya pada akhirnya dapat melaksanakan umroh, walaupun hanya ke malang. *sigh*


Pertanyaan pertama dari seorang teman yang muncul ketika gue berniat untuk melangsungkan ibadah tersebut adalah “Elo mau ngapain ke malang? Kurang kerjaan!”

“Lah, emang kurang kerjaan, kan gue lagi nganggur.”

“owh, pantes!” dijawabnya dengan tatapan ‘mampus-siapa-suruh-hidup-dijakarta’.
Satu hal yang patut disyukuri ketika kamu menjadi seorang pengangguran adalah, kesempatan untuk melakukan banyak hal yang sebelumnya belum pernah kamu lakukan. Jika sebelumnya kamu tidak bisa fokus bermusik, bermusiklah! Jika sebelumnya kamu tidak bisa selingkuh, selingkuhlah!
Terkadang, gue malah pengen seumur hidup gue nganggur dan melakukan banyak hal yang tidak dapat dilakukan bilamana kita bekerja menjadi seorang karyawan. Bekerja itu membosankan. Ah, andai uang tidak pernah ditemukan.
… …
Suatu ketika, gue mendengar seorang teman yang berkata bahwa dia  adalah seorang hooligan Manchester United. Gue yang pada saat itu sedang makan bakwan, mendadak tersedak!
Berani benar teman gue itu berkata demikian, kalo ketemu orang inggrisnya asli pasti diketawain. Memang sudah berapa kali dia nonton langsung di Old Trafford? How many liverpudlian’s asses he’s kicked already?
Iya, gue juga hanya bisa tertawa meskipun gue bukan orang inggris asli.

Itulah, betapa hebatnya tim-tim sepak bola inggris melakukan marketing dan ‘brain-washing’ bahwa tim-tim mereka adalah yang terbaik. Padahal, hanya Liverpool saja lah yang bisa dibilang lumayan prestasinya di tingkat eropa sejak zaman om dulu. Dan Manchester United? Yak elah, baru sukses tahun 1998. *digebok fans MU* :D

Sebagai warga Negara Indonesia yang kalo nonton presidennya sedang berpidato justru ngantuk, gue bangga sama tim lokal ibu kota. Persija!
Bagi sebagian warga ibu kota (yang gak suka bola), Persija dengan The Jakmania-nya hanyalah sekumpulan supporter yang cuma bikin macet Jakarta, rusuh, dan selalu bikin onar. Sekali lagi gue bilang, itu bagi orang yang gak suka bola. Mungkin mereka terlalu sinis dalam menjalani hidup, atau mungkin mereka belum mengenal FPI. Atau, mereka butuh menjadi seorang pengangguran.

Ini apa hubungannya umroh ke malang sama sepak bola, yah?

Baiklah…

19 Februari 2012.
Bagi para Jakmania dan pencinta sepak bola di jakarta, mungkin tanggal tersebut sangat ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena Persija akan bertandang ke malang. Disinilah kisah dimulai.

Persahabatan yang erat antara Jakmania dengan Aremania menjadi sinyal positif untuk berkunjung ke kota itu. Gue, yang sudah lama sekali ingin merasakan langsung atmosfir stadion kanjuruhan, tidak mau melewatkan kesempatan untuk juga berkunjung ke sana. Karena jika tidak tahun ini, tahun depan lah mungkin kesempatan untuk menonton langsung di kanjuruhan. Satu tahun, lebih dari cukup untuk merubah nasibmu menjadi orang yang sibuk nantinya. 

Perjalanan umroh ke malang dimulai ketika gue memilih untuk memanfaatkan seorang teman yang kuliah di sana untuk memesan tiket kereta api Jakarta-malang PP untuk keberangkatan 18 februari dan kepulangan 20 februari. Gue memang suka memanfaatkan orang lain.

Dengan niat backpacker-an, gue memilih jalan independent. Gue bahkan gak tau di mana lokasi Stadion Kanjuruhan itu berada. Dan, di mana gue tidur? Ah, itu semua urusan belakangan.

kereta
Kereta matarmaja yang gue naiki ini cukup murah, Jakarta-malang hanya Rp. 51,000 dengan waktu tempuh sekitar 18 jam sudah termasuk pasar tradisional didalamnya. Iya, mungkin di sana hanya tidak ada tukang cukur rambut. 

Dari Jakarta, kereta take off pada pukul 2 siang dan landing pada pukul 8 pagi WKM (waktu kota malang). Berdasarkan GPS yang berada di handphone, jarak terdekat untuk mencapai stadion kanjuruhan adalah dari stasiun kepanjen ketimbang dari stasiun di kota malang. Jadilah gue turun di stasiun kepanjen.  FYI, GPS itu harga mati buat seorang backpacker. Serius.

Sesampainya di stasiun kepanjen, hal pertama yang sangat mengesankan adalah, warga malang yang dengan bangganya memakai kaos, memasang stiker, dan/atau memakai atribut Arema. Find something like this in Jakarta? Nope! Most of Jakartans never really get into Persija. They are proud to be fans of English, Italy, or Spanish football club. Gak ada yang salah sama itu semua. Tapi, siapa elo dukung tim-tim tersebut sampe kadang rela berantem sama temen? Gue interisti, tapi gak gitu-gitu banget.

… … …

Ketika sedang rehat sejenak di masjid baiturrahman kepanjen untuk men- charge handphone dan bersih-bersih tubuh, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak berpenampilan necis yang mendekati. 

“Mas, supporter, ya? Dari Jakarta?” sapanya dengan menggunakan logat jawa.
“iya, pak.”
“Orang Jakarta itu banyak duit, ya. Makanya mau kemana aja pasti bisa. Ke malang aja sih gampang.”
“Owh, gak juga, pak. Orang Jakarta keliatannya aja banyak duit. Sebenernya gak gitu juga. Hehehe!” Gue jawab asal sambil nyengir. Belum tau aja gue bawa duit pas-pasan.

Dari pengakuan bapak tersebut, katanya doi dulu pernah satu SSB dengan Aji Santoso, legenda hidup kota malang.

“Si Aji itu dulu kasian lho, mas. Orang tuanya hidup pas-pasan. Dia dulu suka bantu-bantu orang tuanya jualan di daerah situ. Tapi semenjak terkenal, udah gak pernah main-main lagi sama warga sini, mas. Sudah agak sombong.” Celoteh si bapak sambil menunjuk ke arah jalan tempat orang tua Aji Santoso berjualan dulu.

Si bapak yang gue temui itu ternyata pengamat bola sejati sejak tahun ’87 dan juga seorang Aremania. Ya iyalah, di malang. Kalo di Surabaya namanya Bonek!

Sekitar kurang lebih satu jam kita ngobrol mengenai banyak hal, mulai dari kebodohan PSSI saat ini kemudian membandingkannya dengan era Agum Gumelar, Timnas Primavera, Indonesia yang dari dulu susah menang lawan Thailand, visi bermain orang Indonesia yang sempit, sejarah Arema, kenapa Persema sepi penonton,  sampai pembinaan sepak bola di Indonesia yang menurutnya salah kaprah.

Gue cuma bisa melongo mengimbangi semangatnya yang menggebu-gebu ketika sedang bercerita. 

“Gilak, jukebox abis nih si bapak. Komentator bola di tipi mah lewat! Siapeh? Bung Towel? Lewat!!!” gumam gue dalam hati.
“Ketua PSSI kui saiki Guoblok tenan! Gak ngerti bola tapi sok-sokan ngerti dan menganggep dia itu paling benar.” Protesnya.

Kalo pada saat itu ada anggota PSSI, gue yakin doi udah dibawa ke pengadilan.
Jika dibandingkan dengan dia, gue gak ada apa-apanya. Gue lebih memlih banyak diam dan mendengarkan dia bercerita banyak hal mengenai sepak bola Indonesia. Itung-itung sekalian nambah pengetahuan.
Di akhir obrolan, gue bertanya “Pak, ke stadion kanjuruhan naik apa, ya?”

“Lho, tak kiro koe uwis ngerti jalanne. Numpak angkot sing ijo pudar ae, mas. Kui langsung nang stadion kok.” (Lho, kirain udah tau jalannya. Naik aja angkot yang warna hijau pudar. Itu udah langsung ke stadion.)

“owh, matur nuwun, pak.” Untung sedikit-sedikit gue ngerti bahasa jawa.
… … …

7 jam menjelang pertandingan…

Stadion Kanjuruhan yang selama ini hanya gue lihat di layar kaca dengan aremania yang bernyanyi di dalamnya yang bisa bikin berdecak kagum, akhirnya bisa gue lihat langsung.

tampak samping
Di depan

Estadio Kanjuruhan

Dan seperti yang di tampak di televisi, kanjuruhan memang dahsyat! Atmosfir di dalamnya memang tidak seperti di Indonesia. Mungkin setara dengan stadion-stadion yang berada di amerika latin atau eropa timur.

raise the flag!

You Might Also Like

0 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.