Sesuatu tentang Professor PSSI

By October 22, 2011

Oke, cukup sudah!

Gue udah cukup panas melihat dan mengamati kondisi PSSI di era kepemimpinan Prof.Dr.Ir. DJOHAR ARIPIN. Gue udah gak tahan buat berkomentar tentang carut-marutnya liga Indonesia, nasib dualisme persija, dan klub-klub yang udah lama berkecimpung di liga tertinggi tanah air.  Asli, miris banget.

Bagi sebagian orang yang mengikuti perkembangan sepak bola tanah air, mungkin sudah tau yang mana 'Angel' yang mana 'Devil', pasti udah bisa membedakannya kan?

Beberapa bulan yang lalu ketika liga tandingan (LPI -red) menyembul ke tanah, temen gue berkomentar 'Wah, mantep nih LPI, baru dibentuk tapi udah bebas dari APBD, bisa datengin Lee Hendrie pula.'

Gue yang pada saat itu memang kebetulan lagi ada di sebelahnya langsung menjawab 'Lo liat setahun lagi, liga sampah itu pasti ilang!'

Ternyata dugaan gue salah, baru setengah tahun liga itu berjalan ternyata sudah di bubarkan. Lebih cepat dari yang gue perkirakan.

'Nih liga, gak jelas juntrungannya, tiba-tiba nongol, bisa bilang mantep dari mana? Yang ada itu LPI bakal bikin ancur liga yang udah lama kita punya. Gue sih nganggepnya liga tarkam dengan biaya besar aja. Secara gak diakuin siapa-siapa juga.' Gue menambahkan, dia pun berlalu begitu saja. 

Kekhawatiran gue tentang LPI yang bakal bikin liga 'asli' kita berantakan ternyata benar. Tumbangnya rezim Nurdin Halid yang dulu di bilang sebagai Mafia dan Perusak sepak bola Indonesia karena ke-tidak-becus-an mengelola PSSI, menjadi awal mula dari semua kerusakan saat ini.

Professor yang gue kira tadinya jenius dan bisa menata ulang kondisi sepak bola Indonesia ternyata jauh panggang dari api. Rezim baru ini ternyata tak ubahnya sekumpulan mafia-mafia yang bahkan tak mengerti sepak bola dan bagaimana mengelola lembaganya itu sendiri.

Dalam benak imajinasi masa kecil gue, seorang professor adalah orang yang amat cerdas, mampu membuat apa saja. Bahkan, yang tidak mungkin menjadi mungkin. Namun saat ini, melihat contoh seorang professor layaknya boneka yang mampu dimainkan oleh 'tuan-nya', bentuk visual itu perlahan memudar.

Pada awalnya gue bisa bernafas lega ketika LPI di bubarkan oleh Arifin Panigoro (sama pencetusnya sendiri). Paling tidak, tidak akan ada lagi 'tukang recok' di liga Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, seiring dengan deadline di tentukannya pembentukan 'Liga Tertinggi Resmi' di Indonesia. Maka nafas lega gue tadi pun berubah menjadi nafas emosi. Kenapa?

#jeng #jeng #jeng

Lalu saat ini muncul lagi kelompok yang dinamakan k-14 yang ingin menggelar kompetisi juga. Ada apa sebenarnya?Kelompok macam apa itu?Bagaimana legalisasinya?Apakah gue udah punya pacar?

isshh... Aku bingung, kakaaa! Aku bingung!

Oke, untuk penjelasan berikutnya akan dijelaskan oleh bung politikana.com
Silahkan, bung! :)

...


Pro kontra lahirnya dua (2) kubu yang siap menggelar kompetisi dengan nama yang berbeda musim 2011-2012 ini adalah hal yang sangat berbeda dengan dijaman 'kartel' Nurdin Halid saat ISL masih digulirkan, kemudian ujug-ujug ada lembaga LPI (kompetisi yang cari keringat doang) muncul ke permukaan.
Kalau di jaman Nurdin Halid, walaupun PT BLI yang menjadi penyelenggara ISL penuh intrik, penuh rekayasa dan penuh tipu muslihat, namun secara LEGAL - lembaganya sah di depan hukum wilayah Indonesia, dan semua anggota klubnya RESMI dan SAH di depan AFC dan FIFA.
Sedangkan, LPI - lembaganya abal-abal, maka otomatis peserta klubnya juga TIDAK LEGAL di depan aturan AFC dan FIFA. Terbukti, faktanya - LPI dibubarkan di tengah jalan oleh pendirinya sendiri - Arifin Panigoro.

Pernah baca sejarah Breakaway League yang dinamakan English Premiere League (EPL) yang sekarang menjadi Barclays Premier League. Tahun 1990 dan 1991 sepak bola Inggris sudah gerah dan marah dengan sepak terjang FA (PSSI-nya Inggris), yang ingin memonopoli liga profesionalnya - mengatur seenaknya masalah hak siar dan sponsor yang dikelola FA.

Puncaknya, nyaris semua klub-klub papan atas saat itu membrontak, dan kemudian NEKAT membuat kompetisi profesional yang lebih menguntungkan klub, khususnya menyangkut masalah hak siar + sponsor yang dikelola FA saat itu. hasilnya, setelah semuanya keluar dari liga Inggris, maka dibentulkan English Premier League seperti saat ini.

Maka, kalau dirunut dan melihat jejak sejarah yang pernah ada, wajar kalau K-14 adalah kumpulan klub-2 yang sudah punya prestasi dan sejarah di lingkungan profesional melakukan hal yang sama seperti di Inggris 1992 - di mana EPL memulai digelar. Dan, terbukti saat itu UEFA induk organisasi sepak bola negara Eropa memilih EPL ketimbang FA.

Semakin paham kan, bahwa K-14 itu bukan ujug-ujug dan seenaknya atau semaunya. Tapi, ada latar belakang sejarah dan itu Semakin paham kan, bahwa K-14 itu bukan ujug-ujug dan seenaknya atau semaunya. Tapi, ada latar belakang sejarah dan itu sangat positif. Bandingkan, dengan LPI (kompetisi yang cari keringat doang), klub belum diakui PSSI, sistem kompetisi dan manualnya ndak seperti milik AFC dan FIFA, makanya FIFA menganulir semua klub LPI.

Kesimpulannya, karena K-14 adalah klub-klub yang sah di depan PSSI, AFC dan FIFA - maka pihak AFC tak pernah bisa mencegah atau melarang adanya kumpulan klub-klub yang sah di wilayah negara anggota AFC dan FIFA memutar roda kompetisi untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa ikut campur regulatornya - PSSI. Karena, di sepak bola itu ada dua bagian yang harus saling dihormati.

Sport Law adalah wilayah PSSI, dan Entertaint Law adalah wilayah League (liga profesional)
Ini hanya analisis secara nalar, secara sejarah dan secara aturan mainnya. Makanya, judul di atas menyimpulkan bahwa K-14 jika tetap menggelar kompetisi untuk menentukan nasibnya sendiri, karena badan hukumnya PT BLI adalah satu-satunya lembaga yang sah memutar roda kompetisi di wilayah Indonesia sekaligus diakui AFC sampai detik ini.
Oke, kita kembali lagi ke Studio!
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

You Might Also Like

0 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.