Ngerjain UAS sambil merem? Kenapa tidak.

By February 16, 2010 ,

Wah, sudah lama sekali saya tidak tulis menulis. Bukan karena sibuk ngurusin anak dan kebanyakan makan mecin, tapi karena belakangan otak saya mendadak gak konek. Ngelakuin apa saja sepertinya selalu salah. Suatu hal yang aneh ketika mendadak tiba-tiba saraf-saraf otak kita tidak terkoneksi dengan baik tanpa sebab yang jelas. Padahal selama itu juga, kepala gue gak terbentur benda-benda keras, gue juga gak kejedot stang motor lagi.

Banyak hal yang terjadi selama gak terkoneksinya otak gue. Mulai dari UAS, dapet rejeki yang tak terduga2, sampe ngeliat nilai 30 di hasil ujian gue di mata kuliah Linguistik.
Hebat, UTS dapet 30 dan UAS pun dapet 30 juga. Konsisten banget kan?

Alhasil, dapet D.

Gue gak gondok, gak marah juga, apalagi sampe jorogin dosen kejurang. Gue terima itu semua dengan lapang dada dan jiwa besar. Memang cuma segitu nilai yang bisa gue dapatkan dari hasil jerih payah gue selama satu semester, gue memang agak males juga sih buat belajar linguistik. Gak konkret. Meskipun kata dosen gue itu merupakan mata kuliah yang penting, dan akar dari segala problematika kehidupan selama ini. Ibaratnya, dengan belajar linguistik lo udah merambah dunia kebahasaan.
Ada kalimat dari beliau...
“ Banyak orang di luar sana yang bisa ngomong dan nulis bahasa inggris, tapi cuma sedikit yang paham dan ngerti linguistik.”


Wiiihh... ajaib sekali kalimat tersebut, benar sekali.

Oke, gue sering ketemu orang yang jago ngomong dan nulis pake bahasa inggris dan ada jutaan orang di negeri ini yang seperti itu. Memang, gue belum pernah nemuin orang yang jago linguistik secara langsung di pinggir jalan (lagi juga cari taunya gimana coba? Buka bajunya dan berharap ada tulisan Master of Linguistics melingkari udelnya gitu?).

Tapi bagi gue, itu semua hanyalah ilusi. 

Padahal kalo dipikir-pikir pake akal sehat, gak susah-susah amat kok soal-soalnya. Ngerjain sambil merem juga bisa kalo lo belajar. Dan, gue pun dengan pedenya mengerjakan soal-soal UAS tanpa belajar sama sekali sebelumnya. Gue berpandangan bahwa dengan tidak belajar pada saat itu, pun gue akan melewati semua soal-soal dengan mudah tanpa rintangan yang berarti. Lagi pula pada saat itu memang gue benar-benar lagi gak bisa belajar, lagi gak bisa ngapa-ngapain, cuma bisa tergolek tak berdaya diatas kasur, sambil mencet-mencetin tangan yang bengkak. Antara tangan kanan dan tangan kiri udah gak singkron lagi volumenya, tangan kiri seperi doyok dan tangan kanan seperti Ice Cube.

Bagi beberapa orang yang sudah gue curhatin mengenai masalah tangan bengkak gue, pasti mereka sudah tahu relita apa yang terjadi sebenarnya. Gue, terancam terkena tetanus!

Itu semua berawal ketika gue terjatuh saat bermain futsal, kemudian luka disekitaran siku tangan, dan tidak segera diobati.

Sesaat setelah terjatuh, teman lemah otak gue datang menghampiri dan bilang “olesin pake air liur biar gak infeksi!”

Gue jawab dengan polosnya “Oh, gitu ya?”

Teman lemah otak gue yang lain menambahkan secara menggebu-gebu “Iya tu id bener, olesin pake air liur tuh biar gak infeksi.”

Karena panik, gue yang lebih lemah otak dari pada mereka menuruti nasihat yang sangat mendidik itu. Seminggu kemudian, BENGKAK!

Gue tanya ke seorang temen baik gue via sms seperti ini, dia anak matematika (tidak nyambung, tapi memang dia tergolong pintar).

“Bro, tetanus tu ciri-cirinya apa sih? Biasanya gara-gara apa ya?”

“Itu biasanya karena luka yang terkena kotoran kuda ato yang gak langsung dibersihin, gejalanya biasanya demam tinggi, bengkak, bernanah. Kalo udah parah bisa diamputasi bahkan bisa menyebabkan kematian.” Dia membalas.

Gue yang membaca sms seperti itu mendadak syock, bumi gonjang ganjing, bendungan katulampa jebol.

“Ah serius lo bisa menyebabkan kematian?”

“Iya, kalo udah parah emang bisa kaya gitu, emang siapa yang tetanus?”

“GUAAA... Ah yang bener lo? Terus gimana ni?”

“Astaghfirulloh, ya gak gimana-gimana buruan lu kedokter, daripada diamputasi. Mau?”

Gue pun panik dan tambah panas dingin mendengar kabar seperti itu. Di umur gue yang lagi emas-emasnya ini, gue harus melanjutkan kehidupan hanya dengan menggunakan satu tangan? Gue gak bisa bayangin. Mendadak secepat kilat gue pergi untuk berobat ke klinik terdekat sore itu.

Sesampainya di sana, gue bertemu dengan seonggok perempuan setengah baya yang mirip nyokap temen gue, ternyata dia adalah dokternya. Begitu gue memasuki ruangannya, dia pun terlihat kaget, dia bertanya panjang lebar mengenai kronologis yang sebenarnya menyangkut peristiwa pembengkakan tangan ini Gue menjawab sekenanya. Dan, dengan hebatnya cuma dipencet-pencetin dengan muka kaya orang kebelet yang ngantri di WC umum dengan antrian sepanjang 5 kilometer dan sedang tidak membawa duit buat bayar WC umum, tau kan bakalan kaya gimana ekspresi mukanya? Kalo gak tau, coba lo praktekin. Mimik mukanya benar-benar tidak menggambarkan dia adalah seorang dokter.

“Kalo cuma dipencet-pencetin aja mah gue gak bakalan dateng ke sini, di rumah juga bisa. disedot kek, diinsisi kek, diapain kek gitu biar kerenan dikit.” Cetus gue dalem hati.

Dan karena ancaman serangan tetanus yang menyerang tepat seminggu sebelum uas dimulai, gue benar-benar gak punya waktu buat belajar ataupun sekedar baca-baca. Dikarenakan gue sibuk menuruti nasehat sang dokter untuk terus menerus mencetin lukanya sampe gak bengkak lagi.

Di situlah semua awal mula nilai 30 berasal.

Minggu-minggu sebelum UAS gue lalui dengan mencet-mencetin tangan, benar-benar menyita waktu sehingga gue gak sempet buat belajar apa-apa.

Lalu apa yang terjadi setelah itu semua? Bagaimana kehidupan gue pasca ancaman tetanus? Apakah gue diamputasi? Apakah gue lelaki?

Tidak, alhamdulillah itu semua tidak terjadi. Gue gak diamputasi, Tuhan YME masih menginginkan gue untuk melanjutkan hidup secara normal dengan kedua belah tangan, gue menulis tulisan ini menggunakan kedua tangan.

Seperti yang gue bilang tadi, linguistik itu gampang-gampang susah, dan lo bisa ngerjainnya sambil merem. Dan memang itu yang gue lakukan pada saat itu.

Gue benar-benar tidak tahu menahu kalo soalnya bakalan semudah atau sesusah itu, benar-benar di luar prediksi awal, semua yang gue tahu mendadak gak kepake pada saat itu, gue gak bisa ngapa-ngapain, gak ada yang gue ngerti, gue nyaris frustasi. Daripada melongo gak berguna disaat UAS, akan terlihat sangat gak keren sekali. Lebih baik menjawabnya sambil merem supaya terlihat sedikit lebih jenius, dengan harapan teman-teman lain akan berujar “Wow, Said ngerjainnya sambil merem. Hebat, memang dia panutan kita semua. Impressive!” dan mendadak semua teman-teman gue mengerjakan sambil merem juga. Kemudian gue diangkat jadi ketua organisasi PSUDCM (Pengerjaan Soal UAS Dengan Cara Merem). 

Tapi memang benar-benar menantang, adrenalin kita langsung naik, hormon endorphin meningkat tajam. Olahraga apapun yang menantang adrenalin didunia ini mah lewat. Arung jeram, balap mobil, nangkep belut, congklak? Lewat! Gak ada apa-apanya dibandingkan dengan ngerjain soal-soal UAS sambil merem. Yeah!


You should try that someday, guyss. It was such a fun thing to do and also fatuous.

You Might Also Like

0 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.