Kenapa Sih Kalian Pada Kebelet Nikah?

By January 25, 2017 , , , , ,

Memasuki di mana masa-masa remaja ya sudah lewat, tua juga belum. Ini memang sulit sekali. Sungguh.

Saya kira dulu masa remaja merupakan masa-masa paling sulit dalam hidup ini ketika masih bingung untuk menentukan jati diri, takut untuk melangkah; apakah mau ikut-ikutan nongkrong di warung, merokok, main bola, bulutangkis, atau diam di rumah membaca buku atau nonton teve saja. Ternyata, seiring berjalannya waktu, seiring bertumbuhnya kumis, beban pikiran menjadi terasa lebih berat. Bukan, bukan lagi menentukan harus berteman dengan siapa, memilih pergaulan yang bagaimana, tapi… Mencari pasangan hidup yang seperti apa.

Di saat-saat sekarang ini, makin banyak orang yang bertanya untuk kapan menikah. Padahal saya belum tua-tua amat untuk diburu menikah, apalagi cowok. Bahkan sebenarnya cenderung belum ada niatan untuk melakukan ibadah tidak wajib itu. Saya bahagia ketika banyak kawan-kawan yang sudah menikah, lalu punya anak dan posting foto anaknya masing-masing di sosial media, sementara saya? Paling cuma posting foto anak kucing.




Beberapa kali ditanya kapan menikah, saya gatel. Saya penasaran. Lalu giliran saya yang bertanya kepada mereka-mereka yang rajin ikut seminar pranikah gitu, nonton film galau islami, atau dengerin lagu-lagu rohani bertabur janji cinta atas nama Allah…

Kenapa sih kalian kebelet banget menikah?

“Ada tulang rusuk yang harus dilengkapi. Biar gak kesepian juga, Id.” begitu katanya.

“Ealaahhhhh. Lau yakin kalau nanti menikah gak akan kesepian?”

Percayalah, sodraku. Kesepian ini hanya sementara. Nanti ketika meninggal yang menemanimu di liang lahat hanyalah amal soleh, bukan pasangan idamanmu. Kalaupun ada cinta yang bisa menemanimu dalam kesendirian panjang itu, adalah cintamu kepada-Nya.

Ada juga yang membuncah-buncah mendengar pertanyaan yang saya ajukan.

“Kita perlu melanjutkan keturunan. Keturunan yang kelak berguna bagi bangsa, agama, dan negara. Dan itu semua bermula dari keluarga. Menikah, punya anak banyak, lalu dididik sebagai pejuang bangsa!” 

“Lho, kalau mau punya anak, kan enggak harus menikah. Mengadopsi anak juga bisa. Di Indonesia banyak anak jalanan dan anak terlantar kok.”

“Beda, punya anak sendiri lebih enak!”

Saya sempat tertegun kalem, memangnya dia tahu apa soal rasanya bikin punya anak sendiri? Apanya yang lebih enak? Memiliki anak adalah tanggung jawab besar. Bukan hanya harus dinafkahi secara materil, anak juga harus dinafkahi secara imateril. Dididik, diberikan contoh, dan bukan hanya dikasih makan, lalu dibesarkan dan apalagi dipelihara. Banyak anak orang kaya yang segala kebutuhan materilnya tercukupi tapi jarang bertemu orang tuanya, sehari-harinya hanya dilayani oleh pengasuh yang memang dibayar hanya untuk mengasuh dan bukan untuk melindungi apalagi mendidik. Akhirnya anak-anak ini tumbuh menjadi orang-orang yang manja dan arogan yang selalu menuntut kebutuhan untuk bisa terpenuhi.

Lalu ada pula yang menjawab.

"Biar ada yang ngurusin. Setiap pulang ke rumah ada yang masakin, mijetin, neriska. Kan enak, brayyy."

"Lah, nyewa pembantu aja."

Pernah ada buku islami yang sempat nge-hits dulu, Udah Putusin Aja [Felix Siauw], buku pop yang memotivasi remaja untuk tidak pacaran tapi langsung menikah, “Pantaskah rencana masa depan, sementara sekarang saja tak berani bilang nikah?” katanya.

Juga ada, Metode Menjemput Cinta [Al Ghazali]. Meskipun buku ini berbau Mahabbatullah, sinopsisnya yang market-oriented membuat remaja galau kurang wawasan akan membelinya dengan harapan termotivasi buku cinta islami.

Atau perlu saya sebutkan film-film percintaan islami yang kisahnya bak Zulaikha kepada Yusuf? Romeo kepada Juliet? Rangga kepada Cinta? Zaenab kepada Si Doel?

Produk-produk baper itulah yang menurut penelitan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag sebagai salah satu pemicu tren kebelet nikah --- yang sayangnya tidak dibarengi dengan kesiapan. Karena tidak paham, kalau menikah bukan hanya perkara sayang-sayangan saja. 

Dalam rentang empat tahun [2010-2014], dari sekitar 2 juta pasangan yang mencatatkan perkawinannya, rata-ratanya hampir 300.000 atau sekitar 15% mengakhiri perkawinannya dengan 70% gugatan diajukan istri atau perempuan sementara sisanya cerai talak. Uniknya, mayoritas perceraian dilakukan pasangan muda kebelet nikah tadi, dengan alasan rumah tangga tidak harmonis, tidak ada tanggung jawab, kendala ekonomi, dan adanya pihak ketiga. Dugaan sementara, tingginya cerai gugat itu mengarah pada meningkatnya kesadaran perempuan untuk mengambil keputusan, pengaruh media dan gaya hidup, kesetaraan dalam penguasaan modal ekonomi, dan lemahnya pemahaman agama. Ini fakta lapangannya, ya. Ngana orang masih berpikir menikah itu gampang kayak di FTV-dengan-judul-Kenek-Metromini-Terjaring-Cinta-Anak-Mentri atau drama-drama di dalam film Korea?

Halah, Id. Paling lau aja yang belom nemuin yang klik. Nanti kalo udah juga pengennya buru-buru nikah.

Duh... kamu peka sekali, anak muda.

You Might Also Like

1 comments

Kindly give me your thoughts. Thank you.