Kapan Nikah? Mendokusai!
Pertanyaan “Kapan nikah?”
adalah pertanyaan yang sangat standar, yang akan dialami oleh mereka yang belum
menikah ketika hari raya tiba–dan sebetulnya tidak membutuhkan jawaban.
Pertanyaan yang sangat menyebalkan. Buat sebagian orang pertanyaan tersebut bisa
sangat membuat frustrasi. Apalagi untuk perempuan yang sudah memasuki UP [usia
panik]. Hasilnya banyak dari mereka yang merayakan Lebaran hanya untuk sekedar
ritual tahunan yang kurang bermakna. Pertanyaan itu sebetulnya bisa dijawab
dengan jawaban enteng semisal: “Aduh duitnya belum ngumpul nih, Pakde.. Emang Pakde mau
biayain?”. Beres.
Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti sebelum melangkah lebih jauh ke jenjang yang lebih serius. Apa alasan ingin menikah? Tuntutan/tekanan sosial? Agar hidup menjadi “komplit”? Agar mempunyai
keturunan? Emak udah minta mantu? Menghindari zinah? Untuk memenuhi kebutuhan biologis? Agar terlihat
bahagia punya suami/istri–sama seperti yang lainnya yang sepantaran? Atau karena
agama menyarankan kita agar menikah? Sudah yakin dengan pasangannya? Benarkah
dia adalah jodohmu? Cinta sejatimu? Belahan jiwamu? Yakin dia tidak akan selingkuh? Yakin kamu cocok dengan keluarganya atau sebaliknya?
Ada fakta menarik di Negeri
Sakura sana, angka rata-rata kelahiran per tahunnya termasuk yang terendah di
dunia. Trennya menurun setiap tahun. Di tahun 2060 nanti apabila hal ini
dibiarkan terjadi maka diperkirakan penduduk Jepang akan berkurang sepertiga
dari sekarang. Kalangan muda-mudi Jepang sekarang ini sedang mengalami sekkusu shinai shokogun, atau celibacy syndrome. Menurut survey,
sepertiga dari pria lajang usia di bawah 30 tahun belum pernah berkencan. 45%
dari perempuan usia 16-24 tahun bahkan sama sekali tidak tertarik untuk
berhubungan seksual atau bahkan ada yang membencinya. Banyak yang berpendapat
bahwa hubungan emosional itu riweuh, ribet. Lalu muncul istilah Mendokusai [maaf saya belum menemukan
padanan yang tepat menurut bahasa Indonesia]. Dalam bahasa Inggris kurang lebih
artinya Whatever, Can’t be bothered atau Forget about it. Itu yang saya dapat
dari Google. Jawaban itu muncul jika ada yang bertanya kepada mereka kenapa
belum menikah, atau bahkan belum mau berpacaran.
Para wanita karir di Jepang
banyak yang menganggap pernikahan adalah hambatan. Ketika mereka menjalani
sebuah rumah tangga dan mempunyai keturunan, maka karir mereka kemungkinan
besar akan habis. Sementara dari pihak pria ada yang berpendapat bahwa hidup
bersama pasangannya atau pernikahan itu akan menjadi beban untuk kedua belah
pihak. Banyak dari mereka pun menganggap bahwa hubungan seksual adalah hal yang
tak penting. Berlebihan. Mainstream. Media Jepang melabeli pria seperti itu
sebagai soshoku danshi [secara harfiah
berarti “manusia pemakan rumput”]. Mereka pun tidak keberatan untuk dilabeli demikian.
Karena mereka yakin bahwa pilihannya itu cepat atau lambat, akan menjadi tatanan
baru di Jepang.
Jadi kalau begitu, kapan
nikah? Mendokusai!
Menatap nanar masa depan |
0 comments
Kindly give me your thoughts. Thank you.