Senin 9 desember 2013, 12:15 WIB HP gue berdering menerima panggilan yang terlihat datangnya dari nomor fixed line yang gak gue kenal. “...
Senin 9 desember 2013, 12:15
WIB
HP gue berdering
menerima panggilan yang terlihat datangnya dari nomor fixed line yang gak gue kenal. “Ah, paling kartu kredit.” pikir gue yang mengira mungkin datangnya dari marketing yang ingin menawarkan kartu kredit.
“Ya, hallo…”
“Halo selamat siang. Apa betul
dengan pak Said suami dari ibu Arina?”
“Hah?! Iya betul. Tapi saya
bukan suaminya. Ada apa ya?” Jawab gue dengan nada setengah heran. Ah, paling
orang reseh lagi ngerjain. Pikir gue dalem hati.
“Istri bapak, bu arina baru
saja jadi korban kecelakaan kereta api. Bapak diminta untuk segera hadir ke RS
Suyoto.”
“Hah? Emang ada kecelakaan?
Ini siapa sih?” Jawab gue sedikit panik sambil mencubit tangan dan berharap yang
barusan adalah mimpi.
Suara dari seberang telepon
kemudian menjawab “Kejadiannya baru saja terjadi, pak. Kami dari pihak RS
Suyoto. Lebih baik bapak langsung ke sini saja untuk menemui ibu arina.”
Kenapa gue yang dihubungi? Karena Arin cuma hafal satu nomor handphone di hidupnya, yaitu nomor gue. Seketika gue lompat dari
tempat tidur, kebetulan pada saat itu ada nyokap dan adik gue. Mereka gue ajak
untuk melihat apa benar Arina yang dimaksud adalah Arina pacar gue.
Dalam perjalanan, gue terus
berdoa dan terus berharap bahwa gue masih di alam mimpi. Gue yang memang pada
saat itu masih ‘tergeletak’ di atas kasur, belum tau sama sekali mengenai
berita atau informasi mengenai tabrakan kereta tersebut.
“Astaghfirullah… Ya Allah…
ini mimpi kan? Tolong bangunkan aku. Mimpi ini buruk sekali.” Gumam gue dalam
hati seraya mengucapkan istighfar tanpa henti.
Setibanya di RS Suyoto, gue
melihat sudah banyak orang yang menangis di depan UGD. Motor langsung gue taruh
begitu saja, lalu gue berlari menuju ruangan UGD tersebut. Kondisinya sungguh
membuat hati terenyuh, jantung seolah berhenti, kaki terasa sangat lemas, lidah
tak mampu berucap, seketika mata gue berkaca-kaca melihat begitu banyaknya
korban yang teriak dan merintih kesakitan. Gue masih berharap ini semua adalah
mimpi.
“Maaf, mas. Apa mas keluarga
korban?” tiba-tiba ada suara yang menyapa dari belakang gue. Gue yang sedang
mencari keberadaan Arin di tengah hiruk-pikuk suasana pada saat itu spontan
menjawab.
“Iya, pak. Atas nama Arina
Meylanda.”
“Oh Arina… Ayo mas ikut
saya.”
Gue berjalan melewati korban
satu per satu. Mata gue terperanjat ketika dari kejauhan gue melihat salah
seorang korban menggunakan baju yang sudah tak asing lagi bagi gue. Iya, baju
itu milik Arin. Gue langsung lari menghampirinya. Dan, Ya Allah… :'(
Itu memang Arin, sedang
terkapar dengan luka bakar di sekujur tubuhnya dan dengan napas yang
terengah-engah. Badan gue mendadak serasa tak mempunyai tulang. Lemas. Seakan
tak percaya apa yang baru saja gue lihat. Melihat orang yang kita sayang sedang
berjuang melawan penderitaan. Air mata mengalir begitu saja.
“Mas, ini lebih baik dibawa
ke fatmawati aja soalnya di sini udah overload dan supaya dapet penanganan
lebih intensif lagi. Ambulance kita udah siap.”
“Ya udah, pak. Langsung
dibawa aja.”
Sesampainya di sana, rumah
sakit sudah ramai dengan berbagai wartawan dari berbagai media, gue melihat
papan tulis tentang daftar korban yang dirawat di fatmawati. Setelah memastikan
ruangan UGD tempat ia dirawat, gue langsung lari menuju ke ruangannya. It was totally indescribable. Everybody was
screaming painfully. Gue hampiri Arin dengan langkah gontai, melihatnya
kemudian menyapanya. Ia langsung menatap gue dengan tatapan lirih.
“Yaannng, panas bangettt yaannggg…
Api dunia panas banget gimana api akhirat yannggg. Akuu gak kuaattt, Ya Allah.”
Gue gak bisa berkata
apa-apa, hanya mampu menyuruhnya untuk terus mengucapkan istighfar. Air mata
gue kembali mengalir.
“Yaaang, Alhamdulillah aku
masih dikasih kesempatan hidup kedua sama Allah. Aku udah bersyukur banget, waktu
di kereta aku berdoa sama Allah untuk dikasih kesempatan kedua supaya aku bisa
bahagiain keluarga aku, nguliahin adek, aku rela kaki aku diamputasi.”
“Heh, kamu apaan sih ngomong
begitu! Sekarang yang penting kamu banyak berdoa sama istighfar aja ya. Kamu
lagi dikasih ujian sama Allah. Yang sabar ya. Aku tau pasti sakit banget.”
“Yaaannggg, aku berharap ini
semua cuma mimpi. Aku gak kuat. Aku mau bangun dari mimpi buruk ini.”
“Arin sayaanngg, ini bukan
mimpi. Kita harus hadapi. Meskipun berat, tapi semua pasti berlalu.”
Beberapa minggu sebelum
kejadian, ia membuat daftar resolusi apa yang ingin ia capai di tahun 2014.
Membeli rumah seharga 300 juta atau lebih dari itu, membiayai kuliah adiknya, dan juga meneruskan kuliahnya. Dengan percaya diri ia menunjukkan ketiga daftar resolusi
yang ia tulis di handphone ke gue.
“Yang, pokoknya tahun depan
ketiga ini harus tercapai. Semoga Allah ngasih jalan ya. Termasuk buat kita
juga. Semoga semuanya dimudahkan ya.”
“Iyaa, amiinnn. Keren juga wish-list kamu. Aku mah planning tahun depan cuma lanjut kuliah S2 aja.
Sama mudah-mudahan aplikasi beasiswa di amrik diterima.”
Gue sebagai lelaki yang
notabene lebih tua dan lebih lama hidup dari dia aja gak berani bikin resolusi
‘seberani’ itu. Salut sekaligus malu sebenarnya. Malu karena kadang buat
bermimpi aja gue gak berani. Hal yang bikin gue merasa ia mampu mengajari gue
banyak hal. Tidak secara langsung, namun dari sikap, kepribadian, semangat,
pandangan, kemuliaan hatinya yang berbicara, tidak hanya di mulut saja. Daripada
berbicara, lebih baik memberi contoh. Ya kan?
4 minggu setelah perawatan,
seorang perawat berkata kepada kami yang tengah asyik membicarakan hal-hal
ringan dengan sedikit bercanda.
“Mbak Arin, dengan masuknya
obat ini, saya nyatakan satu buah mobil kijang innova terbaru sudah ada di dalam
tubuh mbak Arin.”
“Hah? Masya Allah. Emang
berapa harganya, mas?” Tanya Arin.
“Sekitar 300 jutaan.”
“Subhanallah. Salah satu
keinginan aku terwujud, yang.” Ujarnya dengan wajah sumringah sambil
mengalihkan wajahnya ke arah gue. Gue heran, keinginan dia yang mana yang
terwujud.
“Maksudnya gimana? Keinginan
apa?”
“Iya kamu inget wish-list aku yang aku tunjukkin ke kamu
waktu itu? Aku pengen beli rumah yang seharga minimal 300 jutaan buat kita
nanti. Tapi Allah ngasihnya dalam bentuk lain. Dalam bentuk biaya pengobatan
ini. Malah bisa lebih kan? Kata dokter paling enggak aku di sini 2 bulanan
lagi. Gak apa lah, aku tetep bersyukur.”
“Iya, yang. Kamu bener.” Saat
itu ingin rasanya gue nangis mendengar ucapannya. Dalam keadaan seperti itu ia
mampu berpikir positif dan selalu berbaik sangka. Gue hanya mampu berucap di
dalam hati bahwa wanita yang ada di depan gue ini adalah salah satu ciptaan
terbaik yang pernah gue temui. Gue bakal menyesal seumur hidup kalau sampai
melepasnya.
|
Iya impian kamu terwujud 😊 |
Hari silih berganti,
beranjak ke tahun. Iya, tahun baru 2014. Masih jernih dalam pikiran gue
bagaimana dulu kita merayakan tahun baru secara sederhana, melihat kembang api
dan ngobrol tak tentu arah layaknya orang yang tengah PDKT hingga hampir
menjelang pagi. Dia menyebutnya time-wrapped.
20 hari setelahnya, gue jadi kekasih pertamanya. Senang rasanya. Namun kini, 2
tahun kemudian gue harus menemani dia merayakan tahun baru sambil terbaring di
rumah sakit. Sesungguhnya segala rahasia kehidupan hanyalah milik Allah SWT.
Rabu, 15 januari 2014, 11:10 WIB.
5 hari lagi merupakan hari
jadi kita yang kedua. Mungkin memang tak selama hubungan antara Christian Sugiono
dengan Titi Kamal, namun dengan waktu selama kurang lebih 2 tahun, ia
memberikanku sekaligus mengajariku berbagai macam hal yang luar biasa. Tidak
melulu yang tua yang selalu menjadi bijak, terkadang jika khilaf, ia sanggup
memberikanku nasihat dan masukan positif. Salah satu kemampuannya yang aku
acungi jempol.
Allah berkehendak lain. Pada
tanggal tersebut kamu pergi untuk selamanya, meninggalkan kita semua
orang-orang yang menyayangimu karena indahnya kepribadianmu, namun sesungguhnya
kamu adalah milik Allah, jika sang pemilik ingin mengambilnya, kita tidak bisa
berbuat apa-apa selain mendo’akanmu. Allah memberikanmu kesempatan beberapa
waktu untuk menunjukkan kepada kita semua betapa hebatnya dirimu. Dalam keadaan
sakit parah pun kamu masih memikirkan orang lain. Kamu meminta aku untuk
mendatangi dan menyantuni anak yatim, kamu memberikan contoh bagaimana caranya
agar aku dan keluarga besar kamu menerapkan sabar dan ikhlas, kamu menunjukkan
aku betapa banyaknya temanmu yang tak pernah habis menjengukmu selama kamu
berada di rumah sakit, mendekatkan aku dengan seluruh keluarga besarmu hingga
membentuk jalinan tali silaturahim baru. Hal tersebut sekaligus menjadi sedikit
hikmah yang ditunjukkan oleh-NYA.
Subhanallah.
Kita merencanakan banyak
hal, namun pada akhirnya Allah jua lah yang menentukan. Aku masih ingat betul bagaimana kamu mengajak aku untuk mengunjungi kampung
halamanmu, Palembang. Dan kelak suatu saat nanti kita akan menikah di sana. Aku
mengiyakan. Jika ada kesempatan, pasti kita akan ke sana. Dan lagi, Allah
mengabulkan keinginan kamu itu. Aku mengantarkanmu pulang ke kampung halamanmu.
Akhirnya aku ke Palembang juga ya. 😊
Kini kamu tidak perlu khawatir lagi mengenai biaya kuliah adik kamu. Dengan uang santunan yang mereka berikan, adik kamu bisa kuliah di mana saja hingga ia lulus kelak. Kamu bisa istirahat dengan tenang, yaang. Dan lagi, Allah mengabulkan cita-cita mulia kamu.
Berat sekali rasanya
melihatmu dibungkus kain kafan. Aku men-sholati kamu, memapah peti kamu, melihatmu
ditempatkan di tempat peristirahatan terakhirmu, hingga menaburi bunga di atas
kuburmu. Hati ini seperti teriris perih. Dada sesak hingga tak ada kata yang
mampu terucap, hanya air mata yang sanggup mewakili semuanya. Namun aku tetap
harus ikhlas. Ini merupakan sudah kehendak dan takdir Allah. Kita tidak akan
pernah bertemu lagi, kini aku hanya berharap aku bisa menemuimu di mimpiku. Ketika
terbangun, yang bisa aku lakukan hanya mendoakanmu. Ternyata kita tidak
berjodoh, aku hanya bisa menjadi cinta pertama dan terakhirmu. Dunia kita kini
sudah berbeda.
Selamat jalan Arin. Semoga Allah
mengampuni segala dosa, salah, dan khilaf yang pernah kamu perbuat selama di
dunia. Semoga Allah melapangkan kuburmu dan menjauhkanmu dari siksa kubur.
Amiinnn. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Allahhummaghfir lahaa warhamha wa'aafiha wa'fu anha. 😢
|
🍂 |