Umroh ke Malang Part II
-->
... ... ...
Pertandingan berlangsung menarik
sebagaimana biasanya partai berkelas. Namun sayang berakhir imbang 1-1. Tidak
ada masalah selama pertandingan berlangsung. Masalah timbul ketika selesai
pertandingan. Gue tidur di mana.
Sejatinya, pihak Aremania
menyediakan tempat untuk bisa digunakan tidur di sekitar stadion yang terdapat
ruko-ruko di dalamnya, tapi penuh.
Opsi kedua adalah menginap di
sekretariat Arema yang berada di kota malang, namun jaraknya sangat jauh. Kalo
gue jalan kaki pada saat itu mungkin gue bisa terkena radang tenggorokan. Kok bisa yah?
Dalam situasi galau tak menentu seperti itu,
tiba-tiba gue dihampiri oleh seorang Aremanita yang naik motor.
“Mas, mau kemana? Mau ikut sama
aku aja? Tak anter ke mana saja deh.” mendadak ada yang menawar gue. Eh! Maksudnya dia
menawarkan gue tumpangan ke tempat mana saja yang aku suka. ihiy!
“Gak tau, mbak. Pengennya sih ke
sekretariat Arema yang di kota. Tapi jauh banget, ya?”
“Oh, iyo, yowis kebetulan, ayo
tak anter ke sana. Kebetulan rumahku sekitar situ. Bareng aja.” Saat itu entah
kenapa gak ada fikiran negative di otak gue sama sekali. Padahal bisa aja gue
dibawa ke sawah dan diperkosa asal-asalan. Ah, yang gue tau semua Aremania itu
baik-baik. Apalagi gue masih pake baju persija. Sedetik setelahnya, gue sambut
tawaran itu dengan suka cita.
“Mas, kalo gak salah kereta ke
Jakarta masih besok sore, toh? Terus mau ngapain di malang kalo gak
jalan-jalan? Sayang-sayang.” Si embaknya membuka obrolan tengah malam di atas
motor dengan kecepatan tinggi.
“Iya, mbak. Pengennya sih
jalan-jalan. Tapi mau kemana. Saya kan gak tau daerah sini.”
“Tak ajak muter-muter kota malang malam ini mau gak? Stadion Gajayana atau Museum Brawijaya gitu? Deket kok dari sekretariat Arema.” Gue ditawar lagi. Tapi masa iya gue bakal diperkosa asal-asalan sih.
“Tak ajak muter-muter kota malang malam ini mau gak? Stadion Gajayana atau Museum Brawijaya gitu? Deket kok dari sekretariat Arema.” Gue ditawar lagi. Tapi masa iya gue bakal diperkosa asal-asalan sih.
“oke deh, mbak!” gue menyetujui
tawaran embaknya yang kemudian dinamakan Riri. Kapan lagi keliling kota malang
malem-malem, gratis pula. Diperkosa atau enggak, urusan nanti.
Stadion Gajayana |
ini apa ya? lupa |
Tank |
Stasiun kota yang tampak seperti ruko |
Jadilah pada malam itu gue
berkeliling kota malang diselimuti dinginnya udara setelah hujan. Pukul 12
malam WKM, dengan diantar Riri, gue tiba di sekretariat Arema yang berlokasi
tepat di seberang stasiun kota malang. Gue, beberapa jakmania, dan 2 orang
Aremania yang berasal dari Surabaya yang sudah membeli tiket konser Laruku
seharga 900K di Jakarta nanti, ngobrol hingga pagi di samping stasiun sambil
ngopi-ngopi.
Iya, pada akhirnya gak tidur
juga. Riri juga ikut ngobrol-ngobrol sampai jam 2. Doi ini Aremanita sejati,
katanya kalo gak nonton Arema di stadion, dosa! Nih, baru hooligan! *applaud*
Ngomong-ngomong, jam 4 shubuh di sana, stasiun udah banyak
orang yang mengantre. Gue juga gak tau mau pada ngapain, di Jakarta sih jam segitu masih pada tidur.
Sekretariat Arema |
Bener juga, sih. Dia berkata
demikian bukan tanpa alasan. Rasa persaudaraan yang kental antara Jakmania
dengan Aremania membuat satu sama lain saling menghargai dan menghormati.
Seorang bapak penjual nasi bungkus dan kue-kue di sekitar stasiun yang
memberikan kita makan siang gratis bilang “Saya dulu waktu nonton Arema di
jakarta, jam 9 malam, kelaperan, ada Jakmania yang ngasih makan. Saya ngasih
kalian nasi bungkus ini harganya gak
seberapa. ”
Mendengar pa’e bilang begitu, gue
merinding seketika. Di jawa, yang demikian dinamakan ‘mbales’ katanya. Dan
konon, hal itu yang membuat Jakmania dan Aremania akur karena saling ‘mbales’
kebaikan antara satu dengan yang lainnya. Beda warna, beda bahasa, tapi tetap
satu jiwa.
-->
Si pa'e |
0 comments
Kindly give me your thoughts. Thank you.