Umroh ke Malang Part I
Alhamdulillah, pertama-tama,
marilah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan
karunia yang telah diberikan sehingga saya pada akhirnya dapat melaksanakan
umroh, walaupun hanya ke malang. *sigh*
Pertanyaan pertama dari seorang
teman yang muncul ketika gue berniat untuk melangsungkan ibadah tersebut adalah
“Elo mau ngapain ke malang? Kurang kerjaan!”
“Lah, emang kurang kerjaan, kan
gue lagi nganggur.”
“owh, pantes!” dijawabnya dengan
tatapan ‘mampus-siapa-suruh-hidup-dijakarta’.
Satu hal yang patut disyukuri
ketika kamu menjadi seorang pengangguran adalah, kesempatan untuk melakukan
banyak hal yang sebelumnya belum pernah kamu lakukan. Jika sebelumnya kamu
tidak bisa fokus bermusik, bermusiklah! Jika sebelumnya kamu tidak bisa
selingkuh, selingkuhlah!
Terkadang, gue malah pengen
seumur hidup gue nganggur dan melakukan banyak hal yang tidak dapat dilakukan
bilamana kita bekerja menjadi seorang karyawan. Bekerja itu membosankan. Ah,
andai uang tidak pernah ditemukan.
… …
Suatu ketika, gue mendengar
seorang teman yang berkata bahwa dia
adalah seorang hooligan Manchester United. Gue yang pada saat itu sedang
makan bakwan, mendadak tersedak!
Berani benar teman gue itu
berkata demikian, kalo ketemu orang inggrisnya asli pasti diketawain. Memang
sudah berapa kali dia nonton langsung di Old Trafford? How many liverpudlian’s
asses he’s kicked already?
Iya, gue juga hanya bisa tertawa
meskipun gue bukan orang inggris asli.
Itulah, betapa hebatnya tim-tim
sepak bola inggris melakukan marketing dan ‘brain-washing’ bahwa tim-tim mereka
adalah yang terbaik. Padahal, hanya Liverpool saja lah yang bisa dibilang
lumayan prestasinya di tingkat eropa sejak zaman om dulu. Dan Manchester
United? Yak elah, baru sukses tahun 1998. *digebok fans MU* :D
Sebagai warga Negara Indonesia
yang kalo nonton presidennya sedang berpidato justru ngantuk, gue bangga sama
tim lokal ibu kota. Persija!
Bagi sebagian warga ibu kota
(yang gak suka bola), Persija dengan The Jakmania-nya hanyalah sekumpulan
supporter yang cuma bikin macet Jakarta, rusuh, dan selalu bikin onar. Sekali
lagi gue bilang, itu bagi orang yang gak suka bola. Mungkin mereka terlalu
sinis dalam menjalani hidup, atau mungkin mereka belum mengenal FPI. Atau,
mereka butuh menjadi seorang pengangguran.
Ini apa hubungannya umroh ke malang sama sepak bola, yah?
Baiklah…
Bagi para Jakmania dan pencinta
sepak bola di jakarta, mungkin tanggal tersebut sangat ditunggu-tunggu. Kenapa?
Karena Persija akan bertandang ke malang. Disinilah kisah dimulai.
Persahabatan yang erat antara
Jakmania dengan Aremania menjadi sinyal positif untuk berkunjung ke kota itu.
Gue, yang sudah lama sekali ingin merasakan langsung atmosfir stadion
kanjuruhan, tidak mau melewatkan kesempatan untuk juga berkunjung ke sana.
Karena jika tidak tahun ini, tahun depan lah mungkin kesempatan untuk menonton
langsung di kanjuruhan. Satu tahun, lebih dari cukup untuk merubah nasibmu
menjadi orang yang sibuk nantinya.
Perjalanan umroh ke malang
dimulai ketika gue memilih untuk memanfaatkan seorang teman yang kuliah di sana
untuk memesan tiket kereta api Jakarta-malang PP untuk keberangkatan 18
februari dan kepulangan 20 februari. Gue memang suka memanfaatkan orang lain.
Dengan niat backpacker-an, gue memilih jalan independent. Gue bahkan gak tau di
mana lokasi Stadion Kanjuruhan itu berada. Dan, di mana gue tidur? Ah, itu
semua urusan belakangan.
kereta |
Kereta matarmaja yang gue naiki
ini cukup murah, Jakarta-malang hanya Rp. 51,000 dengan waktu tempuh sekitar 18
jam sudah termasuk pasar tradisional didalamnya. Iya, mungkin di sana hanya
tidak ada tukang cukur rambut.
Dari Jakarta, kereta take off pada pukul 2 siang dan landing pada pukul 8 pagi WKM (waktu
kota malang). Berdasarkan GPS yang berada di handphone, jarak terdekat untuk
mencapai stadion kanjuruhan adalah dari stasiun kepanjen ketimbang dari stasiun
di kota malang. Jadilah gue turun di stasiun kepanjen. FYI, GPS itu harga mati buat seorang backpacker. Serius.
Sesampainya di stasiun kepanjen,
hal pertama yang sangat mengesankan adalah, warga malang yang dengan bangganya
memakai kaos, memasang stiker, dan/atau memakai atribut Arema. Find something like this in Jakarta? Nope! Most
of Jakartans never really get into Persija. They are proud to be fans of
English, Italy, or Spanish football club. Gak ada yang salah sama itu
semua. Tapi, siapa elo dukung tim-tim tersebut sampe kadang rela berantem sama
temen? Gue interisti, tapi gak gitu-gitu banget.
… … …
Ketika sedang rehat sejenak di
masjid baiturrahman kepanjen untuk men- charge
handphone dan bersih-bersih tubuh, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak
berpenampilan necis yang mendekati.
“Mas, supporter, ya? Dari
Jakarta?” sapanya dengan menggunakan logat jawa.
“iya, pak.”
“Orang Jakarta itu banyak duit,
ya. Makanya mau kemana aja pasti bisa. Ke malang aja sih gampang.”
“Owh, gak juga, pak. Orang
Jakarta keliatannya aja banyak duit. Sebenernya gak gitu juga. Hehehe!” Gue
jawab asal sambil nyengir. Belum tau aja gue bawa duit pas-pasan.
Dari pengakuan bapak tersebut,
katanya doi dulu pernah satu SSB dengan Aji Santoso, legenda hidup kota malang.
“Si Aji itu dulu kasian lho, mas.
Orang tuanya hidup pas-pasan. Dia dulu suka bantu-bantu orang tuanya jualan di
daerah situ. Tapi semenjak terkenal, udah gak pernah main-main lagi sama warga
sini, mas. Sudah agak sombong.” Celoteh si bapak sambil menunjuk ke arah jalan
tempat orang tua Aji Santoso berjualan dulu.
Si bapak yang gue temui itu
ternyata pengamat bola sejati sejak tahun ’87 dan juga seorang Aremania. Ya
iyalah, di malang. Kalo di Surabaya namanya Bonek!
Sekitar kurang lebih satu jam
kita ngobrol mengenai banyak hal, mulai dari kebodohan PSSI saat ini kemudian
membandingkannya dengan era Agum Gumelar, Timnas Primavera, Indonesia yang dari
dulu susah menang lawan Thailand, visi bermain orang Indonesia yang sempit,
sejarah Arema, kenapa Persema sepi penonton, sampai pembinaan sepak bola di Indonesia yang
menurutnya salah kaprah.
Gue cuma bisa melongo mengimbangi
semangatnya yang menggebu-gebu ketika sedang bercerita.
“Gilak, jukebox abis nih si bapak. Komentator bola di tipi mah lewat!
Siapeh? Bung Towel? Lewat!!!” gumam gue dalam hati.
“Ketua PSSI kui saiki Guoblok
tenan! Gak ngerti bola tapi sok-sokan ngerti dan menganggep dia itu paling benar.”
Protesnya.
Kalo pada saat itu ada anggota
PSSI, gue yakin doi udah dibawa ke pengadilan.
Jika dibandingkan dengan dia, gue
gak ada apa-apanya. Gue lebih memlih banyak diam dan mendengarkan dia bercerita
banyak hal mengenai sepak bola Indonesia. Itung-itung sekalian nambah
pengetahuan.
Di akhir obrolan, gue bertanya
“Pak, ke stadion kanjuruhan naik apa, ya?”
“Lho, tak kiro koe uwis ngerti
jalanne. Numpak angkot sing ijo pudar ae, mas. Kui langsung nang stadion kok.”
(Lho, kirain udah tau jalannya. Naik aja angkot yang warna hijau pudar. Itu
udah langsung ke stadion.)
“owh, matur nuwun, pak.” Untung
sedikit-sedikit gue ngerti bahasa jawa.
… … …
7 jam menjelang pertandingan…
Stadion Kanjuruhan yang selama
ini hanya gue lihat di layar kaca dengan aremania yang bernyanyi di dalamnya
yang bisa bikin berdecak kagum, akhirnya bisa gue lihat langsung.
tampak samping |
Di depan |
Estadio Kanjuruhan |
Dan seperti yang di tampak di televisi, kanjuruhan memang dahsyat! Atmosfir di dalamnya memang tidak seperti di Indonesia. Mungkin setara dengan stadion-stadion yang berada di amerika latin atau eropa timur.
raise the flag! |
0 comments
Kindly give me your thoughts. Thank you.