Para Sarjana, Menulislah di Jagat Maya
Judul
tulisan ini beraroma mulut trainer. Biasanya kalimat senada dilontarkan pada
pelatihan-pelatihan kepenulisan, sebagai motivasi agar para peserta bersemangat
menulis sampai kesetanan. Menulislah maka Anda akan kaya!
Haha.
Maaf, bukan itu yang saya maksud. Ini sesederhana permohonan agar orang-orang
sekolahan mengisi lalu lintas dunia maya dengan gagasan dan perspektif bermutu.
Kira-kira begitu.
Pada
era ini, informasi di lini masa selalu menggerakkan kita. Menggerakkan persepsi
kita, menggerakkan imajinasi-imajinasi kita, menggerakkan cara kita menyikapi
peristiwa demi peristiwa. Bahkan, pada satu titik ia mampu menggerakkan fisik
kita dalam tindakan-tindakan kasat mata.
Semangat
masyarakat dalam membaca terbukti melonjak luar biasa. Membaca celotehan di
grup Whatsapp, membaca unggahan di Facebook, membaca caption Instagram,
termasuk membaca tulisan-tulisan dari situs-situs web yang akurasinya ada pada
level wallahualam. Lho, ini bukan sarkas lho. Semua kegiatan itu tetap
merupakan aktivitas membaca, kan?
Keriuhan
dunia baca-membaca di zaman ini dihidupi oleh siapa pun. Revolusi media sosial
menyajikan parade kebebasan bersuara ala demokrasi superliberal dalam layar
kecil di genggaman tangan kita. Mulai profesor hukum hingga anak geng motor
yang menyentuh buku saja seumur-umur belum pernah, semua bisa menyajikan
cerita. Semua orang sekarang bisa menulis, dan semua jenis tulisan bisa
terbaca!
Luar
biasa, bukan? Indonesia adalah gudangnya penulis produktif! Ini harus kita
rayakan! Cheers!
Nah,
setelah bersulang, mari duduk sebentar. Kita lihat dulu, sebagian besar tulisan
yang tersebar hingga Karang Taruna itu tulisan yang seperti apa? Betulkah
sebagian besar tulisan-tulisan itu mencerdaskan, memberikan data akurat dan
bertanggung jawab, atau minimal mengajarkan pembenahan cara berpikir dan
bersikap?
Tidak?
Kenapa begitu? Ya karena yang lebih tekun menulis adalah populasi "penulis
lepas" dan "penulis liar" yang memang tidak melandasi aktivitas
mereka dengan pertanggungjawaban ilmiah apa pun. Contohnya: saya sendiri.
Bukan,
ini bukan omongan genit sok rendah hati. Tapi saya memang tidak memiliki
kualifikasi keilmuan tertentu. Saya menulis asal sesuai dengan apa yang
terlintas di pikiran, asal merasa bahwa yang saya pikirkan itu benar. Itu thok,
tanpa landasan ilmiah yang sepantasnya. Dan malangnya, spesies seperti saya
inilah populasi terbanyak penulis dunia maya!
Sampai
di sini, muncul pertanyaan pentingnya: lalu di mana para sarjana kita? (Ketika
saya menyebut istilah "sarjana", maksud saya tentu tidak sesederhana
lulusan S1 perguruan tinggi, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi
akademis hebat, hingga level master dan doktor sekalipun.)
Memang
sih, lumayan juga ada beberapa orang berpendidikan tinggi yang mengisi keriuhan
dunia maya. Namun bisa dibilang cuma itu-itu saja, dan terlalu sedikit jika
dibandingkan dengan angka jumlah sarjana atau master atau doktor kita secara
keseluruhan. Nggak usah jumlah sarjana S1, lah. Di antara para doktor Indonesia
yang jumlahnya cuma 31 ribu orang itu, cuma ada berapa biji yang mendominasi
percakapan di dunia maya?
***
Saya
menduga, penyebab minimnya jumlah sarjana aktivis dunia maya setidaknya ada
tiga.
Pertama,
para sarjana terlalu membatasi diri dengan menulis jurnal ilmiah. Harga diri
intelektual mereka ditancapkan semata dengan jurnal.
Tentu
saja itu tidak salah, sebab menulis jurnal wajib hukumnya, dan memang itulah
salah satu tugas utama yang harus dipenuhi oleh para akademisi. Namun jika
berhenti di situ saja, gagasan mereka hanya akan disantap oleh sesama kalangan
elite pengetahuan. Tidak bisa lebih dari itu.
Dalam
bahasa yang lebih kejam, para sarjana yang semata menulis jurnal sekadar
mengabdi kepada dunia keilmuan, tapi lupa mengabdi kepada masyarakat dari mana
mereka dilahirkan.
Maka
saya agak merasa nganu, ketika beberapa tahun silam seorang profesor ternama
yang mengajar di sebuah universitas di luar negeri berceramah di hadapan para
akademisi UGM Yogyakarta: "Kalau kalian akademisi, ya jangan nulis di
koran. Itu jatahnya para penulis. Akademisi ya nulis jurnal ilmiah!"
Saya
serasa mendengar sejenis kesombongan, bahkan kampanye sikap antisosial.
Mungkin
saya salah, atau cuma lagi PMS saja. Tapi belakangan muncul di beranda Facebook
saya tulisan Asit Biswas, profesor di National University of Singapore, dan
Julian Kirchherr, peneliti di University of Oxford. Keduanya membuat pengamatan
dan estimasi bahwa sebuah tulisan di jurnal ilmiah rata-rata hanya dibaca
hingga tuntas oleh 10 orang. Ya, sepuluh orang!
Bayangkan,
betapa elitisnya wacana yang dibagikan dalam jurnal-jurnal, dan betapa terbatas
jangkauannya. Lalu bagaimana gagasan orang-orang pintar di universitas
memberikan faedah berlimpah bagi para jelata sudra pengetahuan macam kita-kita?
Kedua,
kalau toh menulis untuk publik, banyak sarjana yang masih berpikir bahwa media
cetak tetap lebih berwibawa. Maka mereka terus menulis di media cetak, sembari
tak percaya media online. Ini riil, saya pernah menjumpai beberapa di
antaranya. Mungkin satu-dua masih membawa jargon klasik, "Ah, rasanya bau
kertas tetap romantis, dan tak tergantikan oleh bau layar sentuh semutakhir apa
pun."
Mereka
tak sadar, bahwa salah satu koran cetak terkuat di Indonesia saja oplahnya
konon sekarang cuma 300 ribu eksemplar. Anda menulis opini di koran tersebut,
belum tentu terbaca oleh separuh dari ke-300 ribu pelanggan. Sebab terlalu
banyak pelanggan yang tak punya waktu untuk membaca halaman opini.
Bandingkan
dengan tulisan di dunia maya. Sebuah tulisan laris sangat mungkin dibaca oleh
lebih dari sekadar 300 ribu orang. Sebab ada satu mekanisme di dunia online
yang tidak dimiliki dunia cetak, yakni viral. Secara teknis, membagi sebuah
tulisan di dunia maya sangat mudah. Dalam hitungan menit, sebuah gagasan
tertulis bisa tersebar kilat ke puluhan grup Whatsapp, grup BBM, juga dibagi di
laman-laman media sosial.
Anda
tak mungkin menjalankan mekanisme viral pada tulisan di koran cetak, bukan?
Atau Anda punya waktu untuk memfotokopinya, lalu menyebarkannya di
masjid-masjid bersebelahan dengan buletin jumatan?
Maka
kadang saya malah geli kalau ada penulis yang memaksa diri memviralkan tulisan
cetak dengan cara memotretnya, mengunggahnya di akun Facebook, lalu orang-orang
membacanya sambil memicing-micingkan mata hehehe.
Ketiga,
karakter dunia maya yang cair agaknya membuat martabat intelektual para sarjana
terluka. Tulisan-tulisan dunia maya sering diracik dengan enteng, lentur,
kadang sangat dipengaruhi warna tradisi oral. Sementara banyak sarjana yang
masih percaya bahwa tulisan bermutu adalah tulisan yang bisa membikin stroke
pembacanya, dengan tumpukan istilah ilmiah, kutipan-kutipan hebat, serta
nukilan referensi yang menggetarkan hati.
Maka,
dunia maya pun terlalu nista untuk dijadikan wadah gagasan adiluhung mereka.
***
Masyarakat
kita ini, saya rasa, membuat lompatan peradaban yang tidak taat silabus. Kita
belum selesai dengan budaya literasi cetak, tahu-tahu tradisi literasi online
sudah berkuasa dengan begitu cepatnya. Fondasi kita belum cukup kuat untuk
menyaring banyak hal dan menyingkirkan sampah-sampah yang terlalu cepat
memenuhi ruang-ruang akses informasi kita.
Maka
di sinilah para akademisi, para sarjana, para orang pintar yang jelas
kualifikasi keilmuannya, ditantang untuk ngeli ning ora keli, kalau orang Jawa mengungkapkan.
Menghanyutkan diri tapi tidak terhanyut. Menunggangi arus yang sudah sedemikian
tak terlawan, masuk ke dalam pusaran keributan-keributan dunia maya, namun
sembari berjuang agar di atas rapuhnya fondasi literasi tersebut semua orang
bisa terus belajar.
Yaaa,
kecuali Anda-Anda ikhlas pergulatan wacana di tengah publik berhenti di level
begini-begini saja.
-Iqbal Aji Daryono, esais tanpa kualifikasi yang tinggal di Bantul-
0 comments
Kindly give me your thoughts. Thank you.