Kenapa Sih Kalian Pada Kebelet Nikah?
Memasuki di mana masa-masa
remaja ya sudah lewat, tua juga belum. Ini memang sulit sekali. Sungguh.
Saya
kira dulu masa remaja merupakan masa-masa paling sulit dalam hidup ini ketika
masih bingung untuk menentukan jati diri, takut untuk melangkah; apakah mau ikut-ikutan nongkrong di
warung, merokok, main bola, bulutangkis, atau diam di rumah membaca buku atau nonton teve saja. Ternyata,
seiring berjalannya waktu, seiring bertumbuhnya kumis, beban pikiran menjadi
terasa lebih berat. Bukan, bukan lagi menentukan harus berteman dengan siapa,
memilih pergaulan yang bagaimana, tapi… Mencari pasangan hidup yang seperti
apa.
Di saat-saat sekarang ini,
makin banyak orang yang bertanya untuk kapan menikah. Padahal saya belum
tua-tua amat untuk diburu menikah, apalagi cowok. Bahkan sebenarnya cenderung
belum ada niatan untuk melakukan ibadah tidak wajib itu. Saya bahagia ketika banyak
kawan-kawan yang sudah menikah, lalu punya anak dan posting foto anaknya
masing-masing di sosial media, sementara saya? Paling cuma posting foto anak kucing.
Beberapa kali ditanya kapan
menikah, saya gatel. Saya penasaran. Lalu giliran saya yang bertanya kepada mereka-mereka yang rajin
ikut seminar pranikah gitu, nonton film galau islami, atau dengerin lagu-lagu rohani bertabur
janji cinta atas nama Allah…
Kenapa sih kalian kebelet banget menikah?
“Ada tulang rusuk yang harus
dilengkapi. Biar gak kesepian juga, Id.” begitu katanya.
“Ealaahhhhh. Lau yakin kalau
nanti menikah gak akan kesepian?”
Percayalah, sodraku. Kesepian
ini hanya sementara. Nanti ketika meninggal yang menemanimu di liang lahat
hanyalah amal soleh, bukan pasangan idamanmu. Kalaupun ada cinta yang bisa
menemanimu dalam kesendirian panjang itu, adalah cintamu kepada-Nya.
Ada juga yang membuncah-buncah
mendengar pertanyaan yang saya ajukan.
“Kita perlu melanjutkan
keturunan. Keturunan yang kelak berguna bagi bangsa, agama, dan negara. Dan itu
semua bermula dari keluarga. Menikah, punya anak banyak, lalu dididik sebagai
pejuang bangsa!”
“Lho, kalau mau punya anak,
kan enggak harus menikah. Mengadopsi anak juga bisa. Di Indonesia banyak anak
jalanan dan anak terlantar kok.”
“Beda, punya anak sendiri
lebih enak!”
Saya sempat tertegun kalem, memangnya dia tahu apa
soal rasanya bikin punya anak sendiri? Apanya yang lebih
enak? Memiliki anak adalah tanggung jawab besar. Bukan hanya harus dinafkahi
secara materil, anak juga harus dinafkahi secara imateril. Dididik, diberikan
contoh, dan bukan hanya dikasih makan, lalu dibesarkan dan apalagi dipelihara. Banyak
anak orang kaya yang segala kebutuhan materilnya tercukupi tapi jarang bertemu
orang tuanya, sehari-harinya hanya dilayani oleh pengasuh yang memang dibayar
hanya untuk mengasuh dan bukan untuk melindungi apalagi mendidik. Akhirnya anak-anak
ini tumbuh menjadi orang-orang yang manja dan arogan yang selalu menuntut
kebutuhan untuk bisa terpenuhi.
Lalu ada pula yang menjawab.
"Biar ada yang ngurusin. Setiap pulang ke rumah ada yang masakin, mijetin, neriska. Kan enak, brayyy."
"Lah, nyewa pembantu aja."
Pernah ada buku islami yang sempat
nge-hits dulu, Udah Putusin Aja [Felix
Siauw], buku pop yang memotivasi remaja untuk tidak pacaran tapi langsung
menikah, “Pantaskah rencana masa depan, sementara sekarang saja tak berani
bilang nikah?” katanya.
Juga ada, Metode Menjemput Cinta [Al Ghazali]. Meskipun buku ini berbau Mahabbatullah, sinopsisnya yang
market-oriented membuat remaja galau kurang wawasan akan membelinya dengan
harapan termotivasi buku cinta islami.
Atau perlu saya sebutkan
film-film percintaan islami yang kisahnya bak Zulaikha kepada Yusuf? Romeo
kepada Juliet? Rangga kepada Cinta? Zaenab kepada Si Doel?
Produk-produk baper itulah
yang menurut penelitan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Kemenag sebagai salah satu pemicu tren kebelet nikah
--- yang sayangnya tidak dibarengi dengan kesiapan. Karena tidak paham, kalau menikah
bukan hanya perkara sayang-sayangan saja.
Dalam rentang empat tahun [2010-2014], dari sekitar 2 juta
pasangan yang mencatatkan perkawinannya, rata-ratanya hampir 300.000 atau
sekitar 15% mengakhiri perkawinannya dengan 70% gugatan diajukan istri atau perempuan sementara sisanya cerai talak. Uniknya, mayoritas
perceraian dilakukan pasangan muda kebelet nikah tadi, dengan alasan rumah
tangga tidak harmonis, tidak ada tanggung jawab, kendala ekonomi, dan adanya
pihak ketiga. Dugaan sementara, tingginya cerai gugat itu mengarah pada meningkatnya kesadaran perempuan untuk mengambil keputusan, pengaruh media dan gaya hidup, kesetaraan dalam penguasaan modal ekonomi, dan lemahnya pemahaman agama. Ini fakta lapangannya, ya. Ngana orang masih berpikir menikah itu
gampang kayak di FTV-dengan-judul-Kenek-Metromini-Terjaring-Cinta-Anak-Mentri atau drama-drama di dalam film Korea?
Halah, Id. Paling lau aja yang belom nemuin yang klik. Nanti kalo udah juga pengennya buru-buru nikah.
Duh... kamu peka sekali, anak muda.
1 comments
Kebelet kawin ya mz
ReplyDeleteKindly give me your thoughts. Thank you.