Merdeka, Tapi Seperlunya Saja
By Sayyidskiy August 19, 2020 Ilmu Pengetahuan Umum, InspirasiSi gorila albino mengamuk. Lawannya, serigala dan buaya raksasa, akhirnya ambruk mampus dalam beberapa kali pukulan. Sementara, gorila itu d...
Si gorila albino mengamuk. Lawannya, serigala dan buaya raksasa,
akhirnya ambruk mampus dalam beberapa kali pukulan. Sementara, gorila itu
dikepruk berkali-kali, ditusuk dengan tiang besi, tapi tetap saja nggak
mati-mati. Bahkan di akhir cerita si gorila albino tampak tersenyum sehat
sekali.
Anak
perempuan saya terperangah, jidatnya mengernyit, dan akhirnya ia cemberut mecucu.
"Ha? Itu nggak mungkin banget, Pak! Masak dari tadi udah ditusuk
berkali-kali tapi masih hidup aja? Trus musuhnya
langsung mati! Jelek banget ini filmnya!"
Saya
terpingkal keras-keras mendengar komentar anak saya. Tapi segera saya bersyukur
melihat dia sudah paham bahwa tipu-tipu ala film Rampage, yang kami
tonton di bulan pertama musim korona itu, sungguh omong kosong yang ketahuan
ngibulnya.
Maka, ingin
rasanya saya berkata, "Bagus, Ndhuk. Artinya kamu
sudah paham mana yang masuk akal mana yang tidak, mana kejujuran dan mana
kebohongan yang telanjang. Itu akan sangat berguna untuk menjalani hidupmu
kelak."
Tapi,
untung saja saya tidak buru-buru menyampaikan sari hikmah yang satu itu. Sebab
empat bulan setelah kami berdua nonton film nggak mutu bikinan sutradara Brad
Peyton itu, saya sendiri yang kena batunya.
Ceritanya,
saya nonton Ip Man. Film tentang kisah legendaris
guru silatnya Bruce Lee itu sudah sejak lama dibicarakan teman-teman saya.
Maka, ketika saya mulai menyimaknya dari episode pertama, sungguh saya berharap
bakal merasakan ketegangan yang sama dengan zaman dulu ketika saya nonton
film-film Jet Li dan Bolo Yeung.
Malangnya,
ketegangan yang saya harapkan itu tak kunjung datang. Pada setiap adegan
perkelahian, saya malah selalu membayangkan belasan kamera di sekeliling Ip
Man. Bahkan di kepala saya juga terus terlintas gambaran sutradara dan koreografer
yang sedang menata gerakan aneh-aneh, untuk mengatur agar Ip Man yang ceking
itu bisa menumbangkan sepuluh orang karateka tangguh tanpa kena balas pukul
sedikit pun.
Dengan
segenap imajinasi sialan itu, jangan tanya kapan ketegangan saya muncul. Yang ada
malah geli-geli campur idih.
Dan, segera
saya tahu sebabnya. Itu gara-gara saya salah mengambil "silabus".
Sebelum nonton Ip Man, saya sudah telanjur melihat video
Youtube berisi laga real fight Xu
Xiaodong. Dia seorang praktisi mix martial art.
Karena tidak percaya dengan kekuatan sesungguhnya dari beladiri tradisional
China, Xu menantang para master, termasuk master Wing Chun (beladirinya Ip
Man). Dan dalam hitungan detik ternyata Xu bisa menghajar habis mereka.
Coba, kalau
tidak nonton Xu Xiaodong dulu, pastilah saya akan merasakan ketegangan yang
saya nanti-nanti dari film Ip Man. Tapi karena
saya tahu "kebenaran" terlebih dulu, ketegangan itu pun tak saya
dapatkan. Rasa terhibur yang saya harapkan tak pernah datang. Padahal,
jelas-jelas saya menonton film buat mencari hiburan.
Saya rugi
sekali.
***
Seberapa
perlu kita sungguh-sungguh tahu, dan memahami duduk perkara sesuatu? Pertanyaan
itu saya renungkan di hari-hari peringatan kemerdekaan ini. Saya manusia
merdeka, dan karena itu saya tak mau ada orang melanggar hak-hak kemerdekaan
saya. Dan salah satu hak di alam kemerdekaan ini adalah hak untuk merdeka dari
kebohongan.
Tak cuma
seputaran revolusi kemerdekaan. Bagaimana dengan patung Mahapatih Gajah Mada
yang sebenarnya hanya potongan celengan entah berbentuk kepala siapa? Bagaimana
dengan Diponegoro, Cut Nyak Dhien, Sultan Hasanuddin, Pattimura yang disebut
sebagai pahlawan nasional padahal tak pernah berjuang demi Indonesia, sebab
waktu itu Indonesia belum ada? Jadi sungguh aneh menyebut mereka pahlawan
nasional Indonesia!
Inilah
kebenaran. Tapi pertanyaannya, haruskah kebenaran itu dibeberkan? Saya
memikirkannya semingguan, sampai akhirnya Ip Man membantu saya memberikan
jawaban.
Dan dari
film bohongan Ip Man saya tahu, kadang kita memang
perlu memahami kebenaran, tapi kadang juga tidak. Para akademisi boleh-boleh
saja melakukan pelurusan sejarah, tapi saya sangsi "secara
aksiologis" itu akan berguna bagi masyarakat banyak. Bukankah masyarakat
juga membutuhkan "hiburan kemerdekaan", sebagaimana saya membutuhkan
ketegangan dari film Ip Man?
Ini
kemerdekaan sebuah bangsa. Kita membangun napas sebuah bangsa dari semangat
bersama. Dan semangat itu bisa kita nyalakan bukan cuma dari fakta-fakta, tapi
juga dari panggung teater raksasa. Kita membutuhkan orkestra untuk merayakan
ini semua. Dus, kemerdekaan yang tengah kita rayakan ini bukan cuma berurusan
dengan fakta-fakta keras dalam sejarah, tapi juga pertunjukan akbar untuk
membangun sensasi bersama ratusan juta orang.
Maka, kita
pun membutuhkan koreografi ala film Ip Man, bahkan mungkin
ala Rampage.
Toh kadangkala kita tidak butuh-butuh amat untuk merdeka seutuhnya dari kabut
tipis yang menyelubungi pandangan kita. Kita perlu tahu kebenaran, tapi
secukupnya saja. Kita merdeka ya merdeka, tapi mungkin memang nggak harus
seutuh-utuhnya.
Written by Iqbal Aji Daryono [https://news.detik.com/kolom/d-5138151/merdeka-tapi-seperlunya-saja?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.95537496.512547744.1597713024-1429954897.1583982339]