Senja di bulan Juli Jakarta Timur, 31 Juli 2019. Waktu menunjukkan pukul 5 sore lebih sedikit. Menikmati secangkir kopi sambil berist...
|
Senja di bulan Juli |
Jakarta Timur, 31 Juli 2019. Waktu menunjukkan pukul 5 sore lebih sedikit. Menikmati secangkir kopi sambil beristirahat
sejenak di atas gedung kantor tempat saya bekerja, melihat gedung-gedung
pencakar langit yang tertutup oleh kabut polusi kota Jakarta yang pekat, mengamati Menara Saidah yang miring, memikirkan berbagai macam kejadian-kejadian
yang baru saja saya alami. Berkontemplasi.
Saya heran...
Heran, mengapa beberapa hal
sangat mudah saya raih. Beberapa sangat sulit sekali. Saya jadi
bertanya-tanya, sebenarnya yang mana ujian dan yang mana nikmat? Ini rumit. Bisa saja saya
salah sangka kepada sang pencipta. Saya berpikir kalau hal-hal
baik yang dapat saya capai dengan mudah, mungkinkah hanya sekadar ujian saja?
Pertanyaan-pertanyaan itu
berkecamuk di dalam otak saya dengan berbagai macam jawaban yang belum tentu
benar, terutama setelah mengalami beberapa pergulatan batin yang menyita
sedemikian banyak energi dan pikiran dalam satu dua bulan terakhir di
pertengahan tahun ini.
Sebagai pembukaan, mari kita membicarakan
masalah karir serta pencapaian yang saya raih tahun ini. Iya, bagi sebagian orang mungkin tidak terlalu spektakuler. Tapi buat saya, sangat berarti.
Pada awal tahun 2018, saya
bertekad untuk dapat memperbaiki karir di tahun 2019. Terdengar agak membingungkan? Yang saya maksud karir di sini adalah kenaikan Jabatan.
Jadi, dalam
dunia pendidikan tinggi, ada beberapa klasifikasi jabatan fungsional atau jenjang karir yang dapat
diraih bagi seorang dosen. Mulai dari tingkat beginner yaitu Asisten Ahli [AA],
kemudian Lektor, lalu Lektor Kepala, hingga maqam yang paling tinggi yaitu Profesor. Tunjangan untuk masing-masing tingkatan sudah barang tentu berbeda pula.
Setelah berjuang selama lebih dari satu tahun, akhirnya SK
Pengangkatan Asisten Ahli saya turun juga beberapa hari menjelang Idul Fitri lalu.
Alhamdulillah. Tentu saja saya senang dan bersyukur,
secara finansial ada peningkatan. Tapi lebih dari itu, ternyata challenge yang saya berikan kepada diri
saya sendiri bisa saya taklukan. Semakin ke sini, syarat untuk mendapatkan jabatan-jabatan tersebut tidak bisa serta-merta digapai dengan mudah, ada banyak sekali ups
and downs serta drama-drama pemberkasan yang harus dipenuhi. Saya tidak
akan panjang lebar membahasnya di sini karena kalau saya bahas bisa sampai 4
SKS nanti.
Target saya selanjutnya adalah; sertifikasi dosen!!1!1!!
Bismillah.
Itu tadi target yang berhasil saya realisasikan. Lalu, mari kita membahas kegagalan tahun ini. Kegagalan romansa.
Hiya hiya hiya...
“Nggak bosen apa gagal mulu
lu, Id? Kayak Cu Pat Kay aja.” ujar seorang teman.
Saya hanya tersenyum. Lalu menepuk pundak teman saya...
Dengan kayu balok.
***
*** ***
Kegagalan ini
merupakan yang ketiga yang begitu menguras emosi setelah yang pertama ditinggal
mati, ditinggal kawin, lalu kali ini...... Tidak mendapat restu orang tuanya.
Duh gustiii... salah apa hambamu ini. Hahaha
Kok malah ketawa? Ya karena
memang lucu. Lucu karena proses terakhir
yang saya tempuh adalah ta’aruf. Saya kira ta'aruf ini akan mudah karena sudah barang tentu orang yang mengikuti proses ini sudah mengerti akan konsekuensinya, paham agama, koperatif, toleran, dan akan lebih egaliter. Ternyata tidak juga. Saya saja yang salah sangka.
Seorang teman yang bilang kisah percintaan
saya seperti Cu Pat Kay tadi pun sampai heran lalu bilang, “Ini elu ta’aruf masih gagal
juga? Gue gak ngerti lagi deh. Juara deh lo emang.”
Perihal mengapa saya ta’aruf adalah karena anjuran seorang teman lama yang merasa iba melihat saya masih belum menikah juga padahal ia sudah punya 2 anak. Sebenarnya dia saja yang nikah dini. Kemudian ia mempunyai inisiatif untuk
mencarikan saya pendamping dan bersedia menjadi perantara sekaligus seksi repot. Dia mengatakan tidak ada agenda apa-apa sama sekali, murni karena ingin membantu. Berkali-kali ia menawarkan calon yang menurutnya baik dan
cocok dengan saya, namun berkali-kali pula saya tolak dengan halus. Teman
saya yang satu itu juga mendapatkan istri melalui proses ta’aruf. Menurutnya, proses
ta’aruf ini merupakan proses terbaik dalam ikhtiar mencari pendamping hidup.
Saya menyetujuinya, karena di sana kita saling tukar CV atau proposal yang
harus menceritakan secara lengkap tentang personal sehingga dapat memberi
gambaran utuh akan kepribadian dan kehidupan ia serta keluarganya. Dalam waktu
singkat, kita bisa tahu seperti apa orang yang akan dikenalkan dengan kita.
“Nih, Id. Mau nggak sama
yang ini? Lulusan S1 perawat. Bapaknya punya yayasan.”
“Gini ya bro, mau bapaknya presiden kek, walikota, gubernur, atau driver ojol sekalipun, begitu udah nikah, gue yang nafkahin. Surga-neraka dia ada di gue. Gue
yang tanggung jawab. Bukan bapaknya.” jawab saya ketus seakan-akan
yang saya cari di dunia ini adalah harta dan tahta semata.
Setelah melalui negosiasi dan saran-saran, saya
menyetujui untuk melakukan proses tersebut. Tak ada salahnya dicoba. This will be my first time, though.
Proses ta’aruf ini katanya
tidak boleh lama-lama. Kita hanya dibolehkan untuk beberapa kali bertemu saja
termasuk dengan keluarganya, itupun harus didampingi. Tapi tidak dilarang untuk saling berhubungan satu sama
lain melalui media elektronik atau sosial agar tercipta kecenderungan. Tak lupa pula selama proses ini, dianjurkan untuk sholat istikharah guna mendapatkan keteguhan hati. Kebanyakan orang mungkin
berpikir, bagaimana mungkin ada dua orang yang tidak
saling mengenal, dalam kurun waktu yang relatif singkat, justru dapat memiliki
keyakinan untuk saling mengikat diri dan menjajaki pernikahan? Padahal, yang
bertahun-tahun pacaran saja bisa kandas ditikung orang. Ups.
Semua kembali lagi ke niat awal kenapa kita mau menempuh proses tersebut. Karena kalau niat baik pasti selalu ada jalan. Katanya sih gitu.
Setelah pertemuan pertama yang didampingi oleh teman saya yang bertindak sebagai perantara, kami pun memutuskan untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu perkenalan diri ke orang tua perempuan. Sampai tahap ini semua masih berjalan normal.
Hingga...
Saya menginjakkan kaki di rumahnya.
Sesungguhnya ini bukan pertama kali saya datang ke rumah seorang perempuan lalu memperkenalkan diri dengan keluarganya. Saya pun tidak merasa nervous sama sekali, hanya bingung kalau proses ta'aruf ini aku kudu piyee sihhh nanti? Hahaha
Pengalaman selama bertahun-tahun bertemu dengan banyak orang membuat saya sangat sensitif dan dapat dengan mudah membaca body language interlocutor apakah mereka merasa nyaman, respect, suka, atau bahkan masa bodo dengan kita. Dan sepulang dari pertemuan tersebut, saya langsung dapat menyimpulkan bahwa tidak ada respon baik dari pihak keluarganya. Namun teman saya meyakinkan kalau dugaan saya itu salah dan mendorong saya untuk tetap lanjut saja. Btw, teman saya ini sebenarnya lulusan psikologi tapi nampaknya kemampuan membaca bahasa tubuhnya kalah sama saya.
Baiklah, akhirnya kembali saya mengikuti saran darinya. Selama jangka waktu 2 bulan penjajakan dan berhubungan secara intens, dengan pedenya kami pun merencanakan banyak hal ke arah yang lebih serius, padahal secara eksplisit lampu hijau dari orang tuanya saja belum didapat. Masih mengambang.
Sampai...
Apa yang saya duga sebelumnya ternyata benar. Saya pun dengan berat hati harus mundur teratur, memupuskan semua harapan dan rencana yang sudah saya rancang. Mana udah sampe jual motor segala. WKWKWK
Mendadak saya teringat film Crazy Rich Asians. Saya berada di posisi Rachel Chu, bukan Nick Young. Bagaimana sulitnya orang tua Nick yang kolot untuk menerima Rachel sebagai calon menantu dari anaknya. Tentu yang menyebabkan hal itu adalah perbedaan yang jauh antara latar belakang keluarga Rachel dengan Nick [tidak sekufu]. Rachel adalah sosok yang cantik dan pintar yang juga berprofesi sebagai dosen ekonomi di New York University, namun itu semua tidak cukup, dan tak akan pernah cukup menurut ibunda Nick. Bukan itu yang dicari oleh keluarganya. Mereka menginginkan seseorang yang paling tidak setara dengan keluarganya agar dinasti kekayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun dapat terus berlanjut. Sementara Rachel? Ia tidak mempunyai pengaruh apa-apa. She has no power. She's just an ordinary woman, literally nobody. Just a Chinese immigrant who lives in a small apartment with her mom in New York. I can really relate to that. This is also my first time being considered as nobody and it really hurts. But I do believe somewhere somebody out there, to them, my present means the world. That's where I'll be.
Cerita dalam film tersebut kurang lebih sama dengan apa yang saya alami, namun tentunya dengan plot twist yang berbeda. Rachel dan Nick pada akhirnya menikah---karena kemudian orang tua Nick sadar kalau tidak ada gunanya mendiskreditkan seseorang, selain itu mereka pun mengerti kalau anaknya juga mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri sehingga mereka mampu menyingkirkan egonya demi kebahagiaan Nick. Ah, namanya juga film. Itu pun cuma berdurasi 2 jam.
Akhirul kalam, saya sebenarnya masih percaya kalau ta'aruf ini merupakan proses yang baik, tidak seperti membeli kucing dalam karung sebagaimana orang-orang kira sebelumnya, bukan aksi tutup mata dan tinggal tunjuk, terus kawin. Dan ternyata bisa gagal juga.
Jadi... Biarlah ini semua menjadi pelajaran yang amat berharga dalam hidup saya. Untuk tidak terlalu berharap kepada orang lain. Untuk tidak merasa jumawa. Karena sekeras apapun usaha yang dibuat, sebanyak apapun do'a yang dipanjatkan, sesering apapun sujud yang dilakukan tengah malam, tetap Allah yang menentukan.
Sudahlah...
Terima saja.
Kita hanya hamba.
Bisa apa?