Credit: google Mana yang lebih baik: bekerja di perusahaan prestisius dan dikelilingi oleh orang-orang berbakat, atau di perusaha...
|
Credit: google |
Mana yang lebih baik: bekerja di perusahaan
prestisius dan dikelilingi oleh orang-orang berbakat, atau di
perusahaan yang lebih kecil, di mana kamu bisa menjadi pegawai terbaik di
antara orang-orang yang biasa saja?
Sepak bola ternyata merupakan lingkungan yang ideal
untuk menguji teori ini.
"Kami percaya bahwa sepak bola adalah
laboratorium yang sempurna untuk menjawab banyak pertanyaan terkait karier
karena kami dapat mengamati perjalanan karier setiap pemain, kata Jie Gong di
Universitas Nasional Singapura, yang baru-baru ini melakukan studi tentang efek
Ikan-Besar-di-Kolam-Kecil [Big-Fish-Small-Pond effect] di Liga Inggris.
#Efek
peringkat
Efek Ikan-Besar-di-Kolam-Kecil lahir dari pengamatan
terhadap ujian masuk sekolah, di mana anak-anak seringkali ditempatkan di
sekolah atau tempat yang berbeda berdasarkan kemampuan mereka.
Kamu mungkin berpikir kalau masuk ke sekolah unggulan
akan mendorong anak-anak yang lebih pintar untuk lebih serius belajar.
Sayangnya, manusia adalah makhluk pencemburu dan punya
kebiasaan buruk membanding-bandingkan kemampuannya dengan orang yang ada di sekitarnya.
Ini berarti bahwa seorang anak di "kelas
unggulan" [si ikan kecil di kolam yang besar] seringkali merasa kurang
percaya diri akan potensi akademiknya, dibandingkan anak lain dengan tingkat
kemampuan sama yang tidak dikelilingi oleh siswa berprestasi.
Penulis
Malcolm Gladwell mempopulerkan riset ini dalam bukunya, David and Goliath,
tapi baru belakangan ini para ilmuwan mendapatkan bukti kuat untuk konsekuensi
jangka panjang dari teori tersebut.
"Riset sebelumnya
tidak mengamati pilihan karier seseorang," kata Benjamin Elsner di
Universitas College Dublin, Irlandia.
Terinspirasi oleh buku
Gladwell, Elsner kini berusaha mengisi celah dalam pemahaman kita akan fenomena
ini.
Jadi bayangkan seperti ini: ada dua anak,
keduanya sama pintarnya. Anak pertama tampaknya relatif medioker di sekolah
yang lebih kompetitif dan unggulan, sedangkan yang kedua mendapat nilai di atas rata-rata di
sekolah biasa saja yang tidak begitu kompetitif.
Riset Elsner menunjukkan
bahwa anak kedua lebih mungkin melanjutkan pendidikan, sesuai prediksi efek
Ikan-Besar-di-Kolam-Kecil.
"Jika seseorang berada
di peringkat lebih kecil, mereka merasa karier akademik mereka tidak akan ke
mana-mana, dan mungkin akan memilih untuk tidak melanjutkan studi ke
universitas." tulis Elsner.
Hal
ini juga bisa dirasakan di aktivitas ekstrakulikuler anak: penelitian Elsner
mengungkap bahwa siswa di peringkat rendah lebih mungkin untuk merokok, minum
minuman keras, dan berhubungan seks, serta berteman dengan
sesama 'pemberontak' lainnya.
Sementara di kelas lainnya
dengan lebih sedikit kompetisi, siswa dengan tingkat kemampuan yang sama
berpeluang lebih kecil untuk melakukan aktivitas berisiko tinggi seperti itu.
#Jagoan
kampung
Studi di Amerika dan Kanada
terhadap 2.240 atlet hoki, basket, baseball, dan golf menganalisis di mana
mereka lahir dan tumbuh dewasa.
Peneliti
menemukan bahwa para pemain profesional cenderung mengawali karier sebagai
'jagoan kampung', berasal dari kota-kota yang relatif kecil - di tempat mereka
punya kesempatan lebih baik untuk naik ke puncak liga yang lebih kecil -
ketimbang kota-kota besar di mana persaingan lebih berat.
Sekitar setengah dari
populasi AS berasal dari kota dengan populasi kurang dari 500.000 orang, namun
demikian para peneliti mendapati bahwa kota-kota ini memunculkan 87% pemain
hoki nasional, dengan angka yang kira-kira sama untuk pemain baseball dan golf.
Sementara untuk pemain basket sendiri, angkanya masih lebih imbang, tapi tak begitu banyak juga:
secara keseluruhan, 71% pemain NBA berasal dari kota-kota kecil.
Ada
juga bukti bahwa pemain tenis dan sepakbola kelas dunia cenderung datang dari wilayah dengan
populasi lebih kecil. Contohnya, Rafael Nadal yang berasal dari Manacor - kota
dengan jumlah warga kurang dari 40.000 penduduk. Atau Neymar da Silva yang berasal dari Mogi das Cruzes, sebuah kota kecil di wilayah selatan Brazil.
Banyak faktor bisa turut
menjelaskan kenapa kota kecil begitu efektif dalam membesarkan bakat.
Mungkin kota kecil memiliki
lebih banyak area tempat anak-anak dapat bermain dengan aman, dibandingkan kota
besar dengan tingkat kejahatan yang lebih tinggi.
Tapi setidaknya sebagian
keuntungan itu bisa berasal dari efek Ikan-Besar-di-Kolam-Kecil, ditambah
kesempatan lebih baik yang mereka dapatkan karena mengawali karier sebagai
pemain top di liga yang lebih kecil.
#Manfaat
degradasi
Bukti paling menarik
tentang efek ini dalam olahraga berasal dari studi Jie Gong terhadap sepak bola
Inggris.
Studi tersebut
membandingkan tim yang berada di dasar klasemen Liga Primer, dengan tim yang
didegradasi ke Divisi Satu - melambangkan perpindahan paksa dari kolam besar ke
kolam kecil.
Secara intuitif, kita
mungkin berpikir bahwa degradasi akan mencederai kepercayaan diri dan reputasi
para pemain - sama seperti kegagalan dalam tes yang bisa mematahkan semangat
anak-anak dalam pencapaian akademiknya. Tapi bukan ini yang ditemukan Gong.
Degradasi dapat membuat klub kehilangan beberapa pemain terhebat dan termahalnya, namun sisa pemain di klub
tersebut cenderung mendapatkan 12% lebih banyak waktu bermain, yang memberi
mereka lebih banyak kesempatan untuk melatih kemampuan mereka.
"Sebelumnya, mereka
hanya duduk-duduk di bangku cadangan, tapi sekarang mereka bisa benar-benar
bermain di posisi yang penting," kata Gong.
Dan tambahan pengalaman ini
berbuah manfaat jangka panjang bagi karier mereka. "Lima sampai tujuh
tahun setelah degradasi, mereka bermain di klub yang lebih baik dan digaji
lebih besar."
Gong menekankan bahwa
keuntungan ini sebagian besar dialami para pemain muda [usia 18-24].
"Jika
mereka lebih dewasa, lebih mapan, mereka tidak merasakan manfaat ini dari
degradasi - meski mereka juga tidak dirugikan, menurut pengamatan kami."
Ia menyebut Andy Carroll,
yang memulai karier sebagai penyerang untuk Newcastle United pada 2006, sebagai
contohnya. "Awalnya, ia adalah pemain pengganti - lebih sering duduk di
bangku cadangan. Kemudian klubnya didegradasi pada tahun 2009, selang setahun kemudian pada musim 2010, Newcastle berhasil promosi ke liga primer Inggris kembali dengan menjadi juara di divisi Championship, dan Carroll, menjadi top skorer klub dengan 19 gol.
Pada 2011, ia pindah ke
Liverpool dengan kontrak senilai £35 juta [sekitar Rp600 miliar], menjadikannya pemain sepak bola termahal saat itu.
|
Andy Carroll shows how the Big-Fish-Little-Pond effect works. Credit: google |
#Pengalaman
Sayangnya, sangatlah sulit
untuk melacak kehidupan kerja kebanyakan orang dengan detail seperti Andy Carroll barusan, yang berarti kita
tidak punya banyak bukti bahwa dinamika ini juga terjadi di bidang lain.
Tapi Gong percaya bahwa
efek Ikan-Besar-di-Kolam-Kecil akan ditemukan di bidang pekerjaan lain,
terutama sektor yang sangat kompetitif - misalnya hukum, pengacara, konsultan, atau tim marketing sekalipun- di mana kita harus terus-menerus bersaing dengan rekan demi
mendapatkan kesempatan untuk unjuk gigi.
"Kami berpikir bahwa
efek ini berlaku pada semua bidang di mana pengalaman sangatlah penting," ujarnya.
Seperti ditunjukkan Gong
dengan studi terhadap para pemain Liga Inggris, efek Ikan-Besar-di-Kolam Kecil
akan penting terutama jika kamu berada di awal karier.
Memang sih mendapatkan kesempatan
magang di perusahaan bonafit akan terasa sangat membanggakan. Tapi dalam jangka panjang, kemampuan kamu akan terasah dengan baik ketika kamu memulainya di perusahaan yang kecil terlebih dulu. Ibaratnya nih, berenang di kolam yang dangkal dulu, baru deh berenang di laut.