Ada Apa Dengan Cinta?
By Sayyidskiy May 11, 2016 Ilmu Pengetahuan Umum, InspirasiKita tidak membutuhkan cinta. Iya. Kecuali kita mengurung diri di rumah. Tidak punya sanak saudara. Bahkan binatang peliharaan pun tidak ...
Kita tidak membutuhkan cinta. Iya. Kecuali kita mengurung diri di rumah. Tidak punya sanak saudara. Bahkan binatang peliharaan pun tidak ada. Interaksi sosial manusia pada dasarnya menginginkan cinta, suka, kasih, rasa memiliki, aman, nyaman, dan keteraturan. Coba, baca lagi Al-Quran di samping kamu [kalau ada di samping]. Di sana akan ada lebih dari satu ayat yang meminta kita mempelajari gejala alam. Ia menyajikan keteraturan lewat serangkaian ketidakteraturan seketika hingga mencapai keseimbangan. Ini bisa diantisipasi jika kita siap dan waspada.
Kata Meggi Z, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Meggi Z betul, bidang ilmu syaraf menemukan implikasi lebih dari sekedar sakit yang luar biasa menusuk jantung. Kadang-kadang ia terasa sampai ke ujung jari, ujung telinga dan pangkal leher. Rasa nyeri ini seringnya tidak tertahankan. Menangis adalah pertahanan terakhir yang bisa dilakukan tubuh untuk lepas dari cekaman patah hati.
Penyebabnya beragam-ragam.
Dari sekedar “kita udah nggak bisa sejalan lagi,” dan “aku udah dijodohin sama
orang tuaku.” Atau kebodohan macam “aku butuh waktu,” dan “kamu terlalu baik
buat aku.” Sampai yang tidak terhindarkan: kematian atau kecelakaan. Daftarnya
akan panjang sekali kalau disebutkan di sini.
Buat telinga, mungkin ia cuma
sekedar kalimat jahat. Buat otak, sama dengan ketika seorang ibu-ibu naik motor
yang tiba-tiba pindah jalur di depan kamu, tanpa memberikan lampu sein. Atau
sebuah tusukkan pisau di punggung. Mendadak. Otak menerjemahkannya dengan
menekan sekresi Dopamin dan Serotonin. Lalu memproduksi tiga hormon: Adrenalin,
Kortisol, dan Norepineprin dalam konsentrasi tinggi. Dunia medis menyebut
mereka sebagai “tiga serangkai hormon stress.”
Tahap 1: Kehilangan Dopamin
dan Serotonin
Lucy Brown, Ph.D, Ilmuan
Neurobiology di Albert Einstein College of Medicine di New York bilang,
berkurangnya Dopamin dan Serotonin ini efeknya sama dengan sakau penderita
kecanduan kokain. Tubuh justru menginginkan kedua zat “pemuas batin” itu dalam
porsi yang besar. Sementara, kejadian yang baru kita alami, sama sekali tidak
bisa membantu memulihkan komposisi kedua hormon ini dalam darah.
Mood terasa diaduk-aduk.
Kiamat seperti sudah di depan mata. Tidak ada yang paham apa yang terjadi dalam
diri kita. Sangat tertekan. Beberapa orang ada yang kecanduan dengan rasa sakit
macam ini. Kadang meluangkan waktu sendirian. Mengarang dalam pikiran apapun
yang sebetulnya tidak pernah terjadi hanya untuk merangsang efek sakit seperti
di atas, berulang kali.
Tahap 2: Meningkatnya Tiga
Serangkai Hormon Stress
Setiap kaget, otak akan
memerintahkan sekresi Adrenalin segera. Bersama Norepineprin ia akan memacu
jantung, mempompa tekanan darah dan kadar gula dalam darah begitu tinggi.
Sampai kita terjaga. Fokus dan terhindar dari bahaya yang menyebabkannya.
Sering disebut dengan respon “Lawan atau Menghindar.”
Reaksi “lawan atau menghindar” ini punya dorongan yang sangat kuat. Tidak jarang orang yang patah hati cenderung fokus dengan apa yang ia kerjakan sebagai pengalih perhatian. Saat fokusnya ke karir, ia sukses luar biasa. Fokus ke usaha, jadi pengusaha. Fokus ke tanaman, jadi seorang botanist. Fokus ke makanan, jadi gendut.
Otak harus terima kenyataan.
Karena yang otak tau hanya ada bahaya dan hilangnya Dopamin-Serotonin, ia akan
menjawab dengan sekresi eksesif Kortisol. Efek jeleknya merembet. Dalam sistem
pertahanan tubuh, Kortisol dibutuhkan untuk bertahan dengan memfokuskan seluruh
energi seluler untuk menjaga cairan tubuh dan meningkatkan tekanan darah.
Melupakan sistem imunitas, pertumbuhan sel dan gairah seksual. Sekitar 5 hingga
10 menit, bersama Adrenalin, kortisol menambah energi otot jantung dan massa
air di sekitarnya. Membuatnya bengkak dan terasa sakit menusuk.
Timbunan kortisol akhirnya
menggantikan hilangnya Oksitosin dari hubungan sex sepasang kekasih. Akibatnya,
kita mudah terserang penyakit, mengidap obesitas atau kurang gizi, diabetes,
jerawat, kelainan hati, dan penggumpalan pembuluh darah. Bayangkan sendiri
jenis komplikasi yang dibawanya nanti.
Lalu apa obatnya?
Di sini biokimia berguna untuk
menjernihkan masalah. Pertama, otak tidak membedakan luka fisik dan perasaan.
Ia memperlakukan keduanya sama. Kedua, tahapan di atas menjelaskan hilangnya
Dopamin dan Serotonin. Disusul meningkatnya tiga hormon stress, terutama
kortisol. Jadi, memulihkan keseimbangan tiga hormon ini bisa
menyembuhkan patah hati. Saya garis bawahi ya. Biar keliatan keren
aja.
Coba lakukan ini:
1. Minum Acetaminophen. Iya,
Paracetamol. Dijual di warung ucok dengan nama Sanmol, Panadol, Oskadon, Pamol
dan lainnya. Pada dasarnya, otak tidak membeda-bedakan luka fisik atau
perasaan. Menginterupsi perintah otak atas penyebab luka itulah tugas
Acetaminophen.
2. Jatuh cintalah segera.
Dengan jatuh cinta, Dopamin dan Serotonin kembali.
3. Sex. Langkah
kedua akan lebih mantap dengan sekresi Oksitosin. Tapi ya gitu sih. Taboo dan
ekstrim.
4. Kembali ke hobi lama, main
bulu tangkis, baca buku RPUL, beli Es krim Vanilla, dll. Apapun untuk
memulihkan produksi Dopamin dan Serotonin.
5. Dengarkan musik. Musik
favorit mampu menekan produksi Kortisol hingga 66%. Sementara tidur bisa
menekan 36% saja.
6. Atau serahkan semuanya pada
waktu. Toh alam akan menyeimbangkan pada akhirnya. Tapi ya, kita tidak tau akan
berapa lama.
*** *** ***
Lalu kita kembali ke pertanyaan: Ada Apa dengan Cinta? Apa itu cinta? Pertanyaan yang entah berapa juta kali muncul dengan jutaan jawaban dari banyak bidang ilmu. Termasuk ilmu hitam.
Tidak. Kita tidak akan belajar
mantra pengasihan atau ajian Semar
Mesem. Tapi biokimia. Satu-satunya cabang ilmu yang menjawab pertanyaan di
atas dengan lugas tanpa keterlibatan puasa dan doa-doa. Menurut biokimia, Cinta
adalah cara alami agar manusia tidak punah. Pemicu prokreasi. Ya kapan sih alam
basa-basi?
Ilmuan Helen Fisher, dari
Universitas Rutgers, punya teori 3 tahap, 7 hormon.
Tahap Pertama: GAIRAH
Ini adalah tahap pertama dari
cinta. Didorong oleh hormon seks, testosteron dan estrogen; baik pada pria
maupun wanita. Awalnya, semata-mata nafsu. Hanya perlu 2 menit bagi tubuh untuk
melepaskan hormon seksual. Lalu, apa yang memicu gairah?
Penelitian Psikologi
meyakinkan bahwa 55% gairah dipicu oleh penampilan, gerak tubuh, dan
preferensi. Tiga kriteria ini kemudian diatur lagi oleh kromosom warisan kedua
orangtua. 38% dipancing oleh nada dan kecepatan berbicara. Lalu 7% sisanya oleh
apa yang dikatakan seseorang.
Doa-doa dan kemampuan merayu
seseorang menguasai 45% kemungkinan timbulnya gairah. berat badan, penampilan,
harta, preferensi seksual, dan ilmu hitam menguasai hingga 55% kemungkinannya.
Tidak salah kalau ustadz ganteng yang pandai bicara mudah sekali dicintai
banyak orang.
Tahap Kedua: KETERTARIKAN
Ini adalah tahap menakjubkan
di mana kita betul-betul jatuh hati. Semua hal adalah soal orang yang kita
sukai. Sampai susah mikir yang lain. Tiga neurotransmitters yang terlibat di
tahapan ini terdiri dari: Adrenalin, Dopamin dan Serotonin. Ketiga substansi
ini bisa diproduksi 20 hingga 40 menit sejak kita merasakan pemicunya.
Ketertarikan akan mengaktifkan
respon stress manusia. Meningkatkan kadar adrenalin dan kortisol dalam darah.
Alhasil, efek kupu-kupu di perut, deg-degan, berkeringat dan mulut cenderung
kering. Peningkatan dopamin menimbulkan efek kepuasan yang memuncak. Efek yang
sama saat menggunakan kokain. Efek ini berakibat meningkatnya pelepasan energi,
berkurangnya nafsu makan dan tidur, pikiran lebih fokus pada hal-hal kecil
terutama yang menyangkut orang yang kita sukai. Lalu serotonin. Ini adalah zat
yang bertanggung jawab pada munculnya “si dia” secara terus-menerus dalam
pikiran.
Dalam tahap ini juga muncul
“cinta buta.” Dopamin dan Serotonin mampui mengelabui nalar. Mengubah citra dan
persepsi. Mengaburkan logika, seperti orang dalam pengaruh obat-obatan
psikotropika atau ramuan mantra pengasihan. Yang tadinya tidak suka. Jadi suka.
Meskipun udah dikasih tau, dia pacar orang!
Tahap Ketiga: KETERIKATAN
Sepasang kekasih butuh waktu
cukup panjang untuk menginisiasi tahap ini. Sementara dua tahap di atas bisa
timbul dalam waktu kurang dari 45 menit saja! Yang menjelaskan “Cinta
pada pandangan pertama.”
Dua hormon utama pada tahap
ini: Oksitosin dan Vasopresin. Dalam konsentrasi akumulatif yang meningkat
sejalan dengan berapa banyak hubungan sex yang telah dilakukan bersama. Selama
pacaran, kedua hormon inilah yang ditimbun dalam tubuh. Mereka berperan ketika
menentukan komitmen sepasang kekasih. Dalam kasus Ta’aruf, kedua hormon akan
menyelamatkan pernikahan setelah berkomitmen. Serunya, tahap gairah dan
ketertarikan mungkin terjadi setelah tahap keterikatan. Dan bisa mengulur waktu
sexual fatigue [kebosanan].
Oksitosin, atau hormon pelukan.
Adalah hormon yang sangat kuat yang dilepaskan selama orgasme. Sepasang kekasih
akan merasakan lebih dekat dan terikat sesaat setelah berhubungan sex. Hormon
ini juga dilepaskan dalam jumlah besar saat melahirkan anak dan selama
menyusui. Maka terciptalah hubungan keterikatan yang kuat antara ibu dan si
bayi. Proses ini menguatkan perlunya menyusui anak [dan suami?]. Sayangnya,
sintesa oksitosin lebih tinggi dalam tubuh perempuan. Karena pria tidak
melahirkan, maka ia bergantung pada hubungan sex dan menyusui [masih dalam
tahap penelitian apakah menghisap puting pria, berefek sama dengan wanita]. Ini
membuktikan kenapa laki-laki lebih mudah selingkuh ketimbang perempuan.
Vasopresin dikeluarkan sesaat
setelah orgasme. Bersama oksitosin ia menimbulkan rasa hangat dan nyaman.
Beberapa ilmuan mengasosiasikannya dengan perasaan terlindungi. Ia juga berefek
diuretik, yang mampu mengontrol pelepasan urin, menekan rasa haus, sekaligus
mengantuk di saat yang bersamaan.
Setelah kita paham anatomi
Cinta, sekarang mari lah jatuh cinta. Caranya: Temui seseorang. Siapa saja,
terserah. Saling curhat selama 30 menit. Lalu saling menatap dalam tanpa bicara
selama 4 menit.
Disadur dari:
[https://linimasa.com/2015/11/30/mari-jatuh-cinta/]
|